Bagi Nelayan, Mangrove tak Sekadar Jaga Lingkungan
Editor: Koko Triarko
LAMPUNG – Puluhan hektare jajaran pohon bakau berfungsi sebagai sabuk hijau (greenbelt) dipertahankan warga pesisir Bakauheni, Lampung Selatan. Salah satu kawasan mangrove yang tetap dipertahankan, membentang di wilayah dusun Penobakan, Sukarame, Pinang Gading, Pegantungan, Muara Piluk hingga Muara Bakau.
Hasanudin, salah satu warga menyebut mangrove atau bakau erat kaitannya dengan nelayan. Mangrove atau bakau memiliki nilai historis berhubungan dengan penamaan wilayah ujung Selatan Sumatra itu. Sebab, kata Bakauheni berasal dari kata bakau bermakna pohon bakau dan heuni, yang berarti burung bangau. Sebagai pusat berkumpulnya satwa jenis burung, reptil dan biota laut, tanaman bakau yang tumbuh alami memiliki fungsi ekologis.

Fungsi ekologis mangrove bagi kehidupan nelayan menyadarkan masyarakat pesisir menjaga tanaman tersebut. Mangrove yang tumbuh pada kawasan berlumpur di wilayah Bakauheni, didominasi jenis rhizopora.
Sebagian pohon mangrove merupakan jenis ketapang, api-api, prepekan dan sentigi. Meski sebagian nyaris punah, Hasanudin tetap menjaga tanaman mangrove.
“Kampung nelayan di Pegantungan sangat bergantung pada keberadaan tanaman mangrove, karena bisa menjaga keanekaragaman hayati sehingga menjadi tempat hidup berbagai jenis biota laut, sebagian bisa menjadi sumber penghasilan warga pesisir,” terang Hasanudin, Rabu (19/8/2020).
Keberadaan mangrove bagi keberlangsungan ekologis, menurut Hasanudin dengan terjaganya ekosistem pantai. Ia dan sejumlah nelayan bisa melakulan sistem penangkapan ikan memakai bubu, jaring tancap, pancing rawe dasar. Vegetasi mangrove menjadi habitat kepiting, udang lobster dan berbagai jenis kerang yang bisa dikonsumsi.