Polemik Pancasila
OLEH NOOR JOHAN NUH
SEJAK dikeluarkan Keppres No. 24 Tahun 2016, mengenai penetapan tanggal 1 Juni 1945 sebagai hari lahirnya Pancasila sekaligus menetapkan tanggal tersebut menjadi hari libur nasional, seharusnya perdebatan tentang hari lahir Pancasila sudah selesai.
Namun perdebatan mencuat kembali setelah sebagian masyarakat menolak Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP).
Penolakan dengan alasan, pertama, tidak dimasukannya Tap. MPRS No. XXV Tahun 1966 tentang larangan penyebaran ideologi Marxisme, Komunisme, Leninisme, sebagai konsideran dalam RUU HIP. Dan kedua, pasal 6 tentang ciri pokok Pancasila disebut Trisila, dan terkristalisasi dalam Ekasila.
Penolakan RUU HIP dibarengi dengan mempersoalkan kembali hari lahirnya Pancasila. Satu kelompok menganggap hari lahirnya tanggal 18 Agustus 1945, kelompok lain 22 Juni 1945, yang oleh Yamin disebut Piagam Jakarta.
Ketua BPUPKI dr. Radjiman Wedyodiningrat di awal sidang menanyakan, “Sebentar lagi kita merdeka. Apakah philosophiche groundslag Indonesia merdeka nanti?”
Radjiman tidak menanyakan tentang ideologi atau dasar negara, tapi dia bertanya philosophiche groundslag atau landasan falsafah bangsa.
Dalam pidato 1 Juni 1945, Bung Karno mengatakan, “… Alangkah benar perkataan Soekitman Wirjosandjojo, perkataan Ki Bagoes Hadikoesoemo, bahwa kita harus mencari persetujuan faham, mencari persatuan philosophiche groundslag ….”
Jadi, yang diminta ketua BPUPKI dalam masa sidang itu adalah pidato tentang landasan falsafah bangsa untuk Indonesia merdeka.
Mencari persatuan landasan falsafah bangsa yang merupakan kesepakatan bersama, menjadi titik temu dari semua aliran politik dalam negara yang akan didirikan.