Pak Harto Tidak Pernah Mengubah UUD 1945

OLEH: NOOR JOHAN NUH

Noor Johan Nuh (Foto: Istimewa)

Mengenai ongkos politik, Dr. Pramono Anung (Menseskab) menuliskan di buku “Basa Basi Dana Kampanye”—di-sebutkan ada caleg yang mengeluarkan biaya kampanye hingga Rp20 miliar, pada pemilu 2009. Jika  take home pay anggota dewan Rp100 juta sebulan, selama 5 tahun hanya menghasilkan Rp6 miliar. Sulit nalar kita memahami—mengeluarkan dana yang tidak mungkin break event point, kecuali anggota dewan tersebut patriot sejati yang mengorbankan segala-galanya untuk Republik Indonesia. Namun pada kenyataannya, mahalnya biaya caleg untuk duduk di Senayan—sebagai “Anggota Dewan Yang Terhormat”,  berbuah kasus cek pelawat, Wisma Atlet, Hambalang, dan yang sangat sadis Al Quran pun dikorupsi.

Mengenai ongkos politik yang dikeluarkan oleh calon kepala daerah yang konon mencapai ratusan miliar, sedangkan gaji yang ia terima jika terpilih hanya Rp6 juta sebulan—total Rp360 juta untuk 5 tahun—akal sehat kita dipaksa sakit mencernanya—menginvestasi dana yang return of capital tidak mungkin tercapai—dilakukan oleh para calon kepala daerah dengan gigih habis-habisan, menghalalkan segala cara—money politics, serangan fajar, petahana menggunakan dana bansos, bahkan terjadi benturan berdarah antar pendukung di akar rumput.

Sistem politik sekarang ini  membuat bangsa Indonesia makin terpuruk. Di tengah pandemi Covid-19 yang berdampak ekonomi makin terpuruk, keterbelahan anak bangsa seakan sulit direkatkan kembali, pilihan tidak mewah, kembali ke jalan lurus, jalan pikir pendiri Republik Indonesia,  atau tetap menapak di jalan sesat, jalan pikir yang merubah UUD 1945 secara serampangan. ***

Lihat juga...