Pak Harto Tidak Pernah Mengubah UUD 1945
OLEH: NOOR JOHAN NUH
Demokratia berasal dari bahasa Yunani: demos-kratos artinya kekuasaan-rakyat. Sistem ini digagas oleh Plato pada abad ke 2 sebelum Masehi, sebagai perlawanan rakyat pada waktu itu—merubah monarki menjadi republik. Setelah Revolusi Prancis, John Locke dan Montesquie pada mengkreasi demokrasi dengan Trias Politica (pembagian kekuasaan setara).
Berbeda rumusan demokrasi konsep John Locke dan Montesquie dengan demokrasi yang dirumuskan oleh para pendiri Republik Indonesia—disebut “Sistem Sendiri”. Sistem sendiri mengadaptasi nilai-nilai Pancasila yakni: “Kerakyatan (bukan ‘kekuasaan rakyat’) yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”.
Menstruktur Majalis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi (trias politica-pembagian kekuasaan setara antara eksekutif, legislatif, yudikatif) yang anggotanya terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR-legislatif) dipilih oleh rakyat, Utusan Daerah dan Utusan Golongan, tidak dipilih melainkan ditunjuk.
Mengapa ada yang ditunjuk? Karena kelompok minoritas, etnis tertentu—suku anak dalam, golongan atau kumpulan—mereka yang tidak berafiliasi pada partai politik harus terwakili di MPR sebagai representasi atau penjelmaan perwakilan seluruh rakyat Indonesia (sila ke 4 Pancasila).
Pak Harto Tidak Pernah Mengubah UUD 1945
Selama Orde Baru 31 tahun, Presiden Soeharto benar-benar mengapresiasi karya genial para pendiri bangsa yakni UUD 1945, dan berusaha dengan segala daya mengimplementasikannya. Begitu mengkhawatirkan jika UUD 1945 diubah secara serampangan hingga dalam satu pidato di Pekanbaru, Presiden Soeharto mentamzilkan, jika ada usaha merubah UUD 1945, jika perlu anggota MPR diculik satu orang agar korum 2/3 anggota MPR untuk merubah tidak terpenuhi.