Kesadaran Keselamatan Masyarakat di SPBU, Masih Rendah

Editor: Makmun Hidayat

Direktur Eksekutif Reforminer Institue, Komaidi Notonegoro (kiri) dan Manager Media Communication PT Pertamina (Persero), Heppy Wulansari, saat menjelaskan tentang kompleksitas bisnis energi di Indonesia, dalam Nongkrong Bareng Pertamina di salah satu resto di Semarang, Kamis (27/2/2020). -Foto: Arixc Ardana

Sementara, Direktur Eksekutif Reforminer Institue, Komaidi Notonegoro, dalam kesempatan yang sama, menjelaskan saat ini produksi minyak di Indonesia hanya berkisar di angka 800 ribu barel per hari, sedangkan konsumsi berada di angka 1,6 juta barel per hari. Akibatnya, untuk memenuhan kebutuhan BBM dalam negeri, harus melalui impor.

“Melihat kondisi ini, Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN), memiliki tugas yang cukup berat dalam pemenuhan energi di Indonesia. Rumit dan panjangnya rantai birokrasi di Indonesia, juga membuat Pertamina sulit dalam mengambil langkah-langkah strategis dalam kemandirian energi bangsa Indonesia,” terangnya.

Tidak hanya itu, ada juga persoalan lain, termasuk seringkali kali terjadi perubahan kebijakan pemerintah dan kebijakan kementerian, untuk Industri Migas. Hal tersebut menyebabkan iklim investasi tidak kondusif.

“Sebagai contoh, kebijakan bonus tanda tangan dalam sistem kontrak pembagian hasil kotor (PSC), yang dinilai tidak sesuai dengan harapan investor. Selain itu, proses pengaturan tidak pasti dan bias, sehingga mengakibatkan tidak ada kepastian hukum,” terangnya.

Sebenarnya, lanjutnya,  hal tersebut bisa diantisipasi jika seluruh pemangku kebijakan telah memahami permasalahan yang ada, dan bersama-sama mencari jalan keluar.

Lihat juga...