Gus Sholah, Ulama Lintas Batas nan Demokratis
JAKARTA — Pengasuh Pondok Pesantren Tebu Ireng, Jombang, Jawa Timur K.H. Sholahuddin Wahid (Gus Sholah) dikenal sejumlah pihak sebagai seorang ulama lintas batas nan demokratis.
Namun, adik Presiden keempat RI, K.H. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) itu, harus tutup usia pada Minggu (2/2) menyisakan duka bagi setiap kalangan.
Hingga meninggal pada usia 77 tahun, Gus Sholah dikenal sebagai seorang yang tidak hanya berkiprah untuk Nahdlatul Ulama, tetapi juga lintas batas yaitu di ranah umat dan bangsa.
Pada 1998, publik menyaksikan melalui media massa bagaimana demokratisnya Gus Sholah yang tidak anti terhadap perbedaan pendapat, bahkan dengan kakaknya, Gus Dur.
Kakak beradik anak dari tokoh sentral Nahdlatul Ulama dan Menteri Agama Wahid Hasyim itu “berperang” pemikiran melalui tulisan di media massa dalam memandang relasi negara dengan Islam melalui sudut pandangnya masing-masing.
Keduanya nampak bertikai laksana retak hubungan keluarga, tetapi nyatanya tidak. Keduanya mengakui bahwa polemik di media massa itu hanya sebagai upaya mencari kebenaran bukan menentukan siapa pemenangnya.
Melalui pertikaian tulisan itu, publik dapat menyaksikan bagaimana jalan mencari kebenaran dibangun melalui logika-logika Gus Dur versus Gus Sholah yang tertuang melalui literasi di media massa.
Jika awam, tentu hanya akan melihat ada bara dalam sekam dari dua cucu pendiri Nahdlatul Ulama, Hadratusy Syaikh K.H. Hasyim Asy’ari. Duo Wahid itu terlihat tidak ada akur-akurnya.
Akan tetapi, jika melihat dari sudut pandang perdebatan ilmiah maka dapat menjadi oase soal bagaimana publik bisa menentukan pandangan dan sikapnya soal relasi negara dengan Islam atau agama.