Perputaran Uang Penambangan Liar di Sumbawa Barat Capai Miliaran Rupiah

Aktivitas ibu Sahnip dibantu putranya saat sedang memecah batuan sebelum diolah menjadi bijih emas di Desa Lamunga, Kabupaten Sumbawa Barat – Foto Ant

Menurut Tagor, aktivitas PETI di wilayah tersebut mulai muncul di 2010. Tepatnya, setelah kehadiran para penambang asal Tasikmalaya, Jawa Barat dan Manado, Sulawesi Utara. Oleh warga setempat mereka ini disebut sebagai teknisi. Karena dari merekalah warga setempat mengetahui batuan mana yang bernilai, dan harus diambil untuk kemudian nantinya di olah dan diambil bijih emasnya.

Sebelum pindah ke KSB, teknisi yang berasal dari Tasikmalaya dan Manado, beraktivitas di tambang-tambang emas liar di daerah Sekotong, Kabupaten Lombok Barat. Namun, seiring waktu dan redupnya tambang di Sekotong, mereka pun akhirnya bermigrasi mencari tempat-tempat baru. Salah satunya di KSB.

Selain para pemilik lubang, aktivitas penambangan liar juga dinikmati para pemilik batu atau disebut ojek. Para pengojek galian tambang ini menerima upah bervariasi, tergantung jarak jauhnya tempat mengambil batuan. Di Desa Lamunga, para pengojek dibayar Rp100 ribu per-karung. Sementara, di Lamontet Rp100 ribu per-karung dan di Jereweh Rp150 ribu per-karung. Disamping para pemilik lubang tambang, kemudian ojek tambang, perputaran uang akibat adanya PETI di KSB juga dirasakan kaum ibu-ibu disana.

Mereka bekerja sebagai pemecah batu. Bahkan, untuk anak-anak tugas mereka sebatas membantu para orang tua memecahkan batuan yang telah diambil dari lubang tambang. Semua terlibat karena ikut membantu pekerjaan suami. Untuk memecah batuan hasil galian tambang, alat yang digunakan cukup sederhana. Hanya dengan martil atau palu dan penahan batu yang terbuat dari karet ban bekas yang telah diberi gagang dari kayu. “Untuk satu karung batuan yang telah dipecah mereka dibayar Rp10 ribu. Itu pun, dalam sehari mereka hanya mampu memecah batuan hingga kecil-kecil antara dua atau tiga karung,” kata Ibu Sahnip. (Ant)

Lihat juga...