Budaya Menenun, Lestari di Desa Koja Doi Sikka

Redaktur: Satmoko Budi Santoso

MAUMERE – Hampir semua perempuan warga desa Koja Doi, kecamatan Alok Timur, kabupaten Sikka, NTT mahir menenun. Teknik menenun warga di kepulauan yang mayoritas berasal dari suku pendatang dari Sulawesi ini tampak beda dengan teknik menenun di Sikka.

Kalau di wilayah Sikka daratan di pulau Flores, rata-rata sebelum ditenun, benang diikat dan diberi motif terlebih dahulu. Sementara di wilayah kepulauan, tidak ada motif dan tidak menggunakan sistem ikat.

“Kalau di wilayah kepulauan rata-rata tidak pakai ikat dahulu. Benang langsung ditenun setelah disusun atau Goan,” kata Nuryani warga desa Koja Doi, Minggu (8/9/2019).

Dikatakan Nuryani, dirinya sejak duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar sudah bisa menenun karena diajari orang tuanya atau sang ibu. Hampir semua perempuan dewasa dan remaja di pulau Koja Doi bisa menenun.

“Saya sedang menenun menggunakan benang emas dan harganya lebih mahal. Satu lembar saya jual Rp400 ribu atau Rp450 ribu. Kalau yang benang biasa harganya Rp300 ribu selembar,” ucapnya.

Kain tenun yang diproduksi warga pulau Koja Doi, desa Koja Doi, kecamatan Alok Timur, kabupaten Sikka, NTT yang memiliki warna-warna mencolok, Minggu (8/9/2019). – Foto: Ebed de Rosary

Kain tenun laki-laki kata Nuryani, dinamakan Katamba dan motifnya kotak-kotak tapi berukuran kecil. Bila motif kotak-kotaknya besar maka kain tenunnya dinamakan Palekat.

“Kalau untuk perempuan dinamakan Ragi-Ragi sementara yang dua warna dinamakan Kasopa,” ucapnya sambil terus melakukan aktivitas menenun di rumah panggungnya.

Setiap kain tenun yang dijual kata Nuryani, dirinya mendapatkan keuntungan Rp100 ribu. Daripada menganggur sebutnya, lebih baik menenun usai mengantarkan anak bungsunya ke sekolah.

Lihat juga...