Biaya Mahal Jadi Kendala Pengembangan Pertanian Perkotaan
Redaktur: ME. Bijo Dirajo
YOGYAKARTA — Sejak beberapa tahun terakhir, pemerintah begitu gencar mendorong pemanfaatan lahan pekarangan di sekitar rumah untuk menanam berbagai macam jenis tanaman produktif. Baik itu buah-buahan maupun sayur-sayuran.

Selain bertujuan memenuhi kebutuhan pangan dan gizi masyarakat, pertanian perkotaan tersebut juga dianggap mampu meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Namun sayangnya, hingga kini upaya itu belum mampu berjalan maksimal.
Ketua Kelompok Tani Nasional Andalan (KTNA) sekaligus Ketua Asosiasi Petani Sayur tingkat kota Yogyakarta, Atik Susilowati menyebutkan, hal itu disebabkan karena sejumlah faktor. Pertama disebabkan karena belum semua warga memiliki kesadaran akan pentingnya memiliki kebun sayur mandiri.
“Masih banyak warga menyepelekan nilai sayuran. Kenapa harus susah-susah menanam, kalau beli saja murah. Padahal menanam sayur secara mandiri banyak manfaatnya dari sisi kesehatan. Karena organik, sehingga bebas pestisida,” katanya.
Kendala lain menurut Siti, juga disebabkan karena mahalnya biaya atau modal mengembangkan pertanian perkotaan. Dimana sistem yang dipakai membutuhkan berbagai macam peralatan dan teknologi yang tidak murah. Seperti misalnya sistem vertikultur, aquaponik ataupun hidroponik.
“Seperti vertikultur itu kan mahal. Untuk membuat rak nya saja butuh biaya Rp500ribu. Begitu juga hidroponik, untuk membeli pipa paralon dan pompa air bisa mencapai ratusan ribu. Sementara hasilnya tidak seberapa. Sehingga masyarakat enggan memulai jika tidak ada bantuan pemerintah,” katanya.