Perempuan di Sulteng Bahas Hak Pascabencana

Ilustrasi -Dok: CDN

Beberapa masalah yang dihadapi oleh perempuan telah selesai di tingkat bawah atau tingkat desa dan kabupaten. Seperti adanya perdes tentang pelibatan perempuan dalam perencanaan desa.

Ia mengatakan, perlunya alokasi dana desa untuk pendampingan perempuan dan anak korban kekerasan. Namun ada juga yang belum selesai, seperti di Donggala yang berkaitan dengan standar operasional penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.

Berbeda dengan Kabupaten Sigi yang jauh lebih maju. Misalkan, ada rehabilitasi dan rekon yang responsif gender. Sehingga pada semua level, perempuan suda terlibat dalam kegiatan rehab dan rekon.

“Di Sigi sampai ada pos-pos pengamanan perempuan, swadaya, sampai di tingkat camp pengungsian. Termasuk dukungan modal terhadap perempuan untuk berwira usaha,” ujar dia.

Karena itu, kegiatan perempuan Sulteng berkumpul akan melahirkan rumusan yang disampaikan kepada Bappeda Sulteng lewat DP3A Sulteng. Rumusan mengenai kegiatan fisik dan nonfisik, yang bisa diintervensi lewat APBD dan APBN.

“Seperti bak penampungan air, MCK yang terpisah antara laki-laki dan perempuan, bantuan bibit pertanian, peralatan usaha dan modal usaha. Terdapat 120 perempuan binaan dari dua belas Tenda Ramah Perempuan (TRP) mengikuti rapat pemenuhan hak pascabencana,” katanya.

Terkait hal itu, Kepala DP3A Sulawesi Tengah, Ihsan Basir, menegaskan dokumen rumusan pemenuhan hak perempuan dan anak pascabencana harus menjadi acuan pemerintah dalam kegiatan rehab/rekon.

“Ini akan kita sampaikan kepada Bappeda Sulawesi Tengah,” kata Ihsan.

Ihsan memandang, bahwa kegiatan dan program berbasis responsif gender perlu menjadi perhatian pemerintah. Bahkan, kelompok-kelompok perempuan harus terlibat dalam asistensi kegiatan anggaran pembangunan di pemerintahan.

Lihat juga...