Gunung Anak Krakatau Butuh Waktu Lama Untuk Tinggi Lagi

Editor: Koko Triarko

“Masyarakat serta wisatawan masih tidak diperbolehkan mendekati kawah dalam radius 5 kilometer dari kawah,” tegas Andi Suardi.

Berdasarkan data, terang Andi Suardi, Gunung Anak Krakatau mengalami erupsi selama beberapa kali dalam kurun satu dasawarsa.

Tercatat letusan dengan skala kecil hingga besar terjadi pada 2001 dengan erupsi abu tipe strombolian terjadi pada 5 Juli.

Pada 24-26 September 2005, terjadi peningkatan aktivitas kegempaan. Pada 1-20 April 2006 terjadi peningkatan aktivitas. Hasil pengamatan langsung ke Gunung Anak Krakatau menunjukkan terjadi letusan abu disertai lontaran materi pijar berlangsung tiap 5-15 menit dengan ketinggian berkisar 100-500 meter.

Selanjutnya sejak 2010, tepatnya tanggal 10 Oktober 2010 terjadi letusan abu yang disertai lontaran material pijar. Pada 2011, terjadi erupsi dengan ketinggian asap berkisar 100 hingga 1700 meter, dan berlangsung setiap hari.

Selanjutnya pada 2 September 2012, letusan menghasilkan kolom asap setinggi 100 meter, dan letusan berikutnya didominasi oleh letusan tipe strombolian.

Letusan mulai sering terjadi sejak Juni 2018, dengan jumlah letusan per hari rata-rata di bawah 50 kali per hari. Ketinggian gunung di Selat Sunda dengan ketinggian awal 338 Mdpl tersebut, akhirnya berkurang menjadi 110 Mdpl, setelah letusan pada Sabtu (22/12/2018), yang dipastikan sebagai penyebab tsunami Selat Sunda, pascalongsoran seluas 64 hektare.

Selain berimbas tsunami di wilayah Lampung, tsunami juga mengakibatkan kerusakan di wilayah Banten.

Akibat erupsi berimbas tsunami, material vulkanik berupa pasir apung dan batu apung, terlihat hampir di semua pantai yang menghadap ke Selat Sunda. Sejumlah wilayah yang semula memiliki pasir putih, berubah menjadi berwarna hitam kelabu akibat dominasi pasir dari GAK.

Lihat juga...