Produk Asal Negara Mayoritas Muslim Mudah Diterima di Pakistan
Sementara, Haroon, General Manager Shahid & Foods, mengatakan, pilihannya mengimpor makanan Indonesia, karena produk makanan asal Indonesia dinilai berkualitas, lezat dan tidak diragukan kehalalannya, dibanding dengan produk asal negara lain seperti Thailand, Cina, Eropa.
Namun, kedua perusahaan tersebut mengeluhkan mengenai pengenaan tarif pajak yang masih tinggi terhadap produk FMCG, yang jika ditotal bisa mencapai 100 persen, mulai pungutan oleh pihak bea cukai (40 persen), regulatory duties (40 persen), pajak penjualan (20 persen) dan advance income taxes (6 persen).
Harapan mereka, jika Indonesia dapat memiliki FTA, maka pungutan oleh bea cukai dapat diturunkan dan produk makanan Indonesia akan lebih dapat bersaing dengan produk sejenis dari negara lain, yang telah memiliki FTA.
Para pelaku usaha tersebut mengaku, meskipun mereka baru dalam tahap awal memasarkan produk makanan Indonesia di Pakistan, namun merasa optimis prospeknya semakin baik, dengan asumsi pertumbuhan konsumsi produk tersebut per tahun sebesar 10-12 persen.
Satu hal yang menarik dari pertemuan dengan para calon importir lain yang hadir dalam pertemuan tersebut, bahwa faktor negara pengekspor masih menjadi penentu bagi diterimanya suatu produk makanan atau minuman di Pakistan.
“Produk asal negara bermayoritas penduduk Muslim akan mudah laku dan diterima oleh konsumen Pakistan,” ujar Imran Saeed, yang telah dua tahun mengimpor produk minuman jus dari Thailand.
Lebih lanjut, ia sampaikan mengenai tren penurunan impor minuman asal Thailand yang beralih kepada produk yang sama dari Malaysia, karena dinilai lebih memenuhi aspek keyakinan produk halal.