Lima Puluh Kematian

CERPEN RUMADI

JEIN telah berada di gedung tertinggi di kota ini. Dia telah berhasil mengelabui petugas keamanan sehingga ia bisa berada di sini sekarang.

Ia melihat ke bawah. Sebegitu tinggi. Manusia seperti boneka-boneka kecil yang berjalan. Mobil-mobil yang terparkir di bawah sana, tampak seperti mobil-mobilan remote kontrol yang sering ia mainkan bersama teman-temannya semasa kecil.

Kali ini nyalinya menciut. Selain karena tingginya bangunan itu, juga karena ia telah lupa menghitung. Apakah ini akan menjadi kematian terakhirnya? Ataukah masih ada kehidupan kembali baginya seandainya jika ia terjun ke sana?

Ia membayangkan kepalanya membentur aspal, kemudian darah keluar dari batok kepalanya. Setelah itu, ia akan terlahir kembali menjadi manusia yang lain.

Tuhan telah memberikan lima puluh kehidupan kepadanya lewat bisikan gaib. Ia—dalam kehidupannya yang pertama–lahir sebagai seorang budak belian. Hidupnya berada di tangan tuan yang tidak memiliki rasa kemanusiaan. Dalam sehari, ia hanya diperbolehkan tidur selama dua jam.

Jein harus mengerjakan semua yang diperintahkan oleh tuannya. Sedikit saja yang terlewat, Jein akan mendapatkan hukuman berupa cambukan bertubi-tubi di punggung. Tuannya tidak akan berhenti sebelum punggungnya mengeluarkan bercak darah kemerahan mengalir deras.

Tuannya juga tak peduli jika setelah itu dia menggigil kuat. Dengan bibir bergetar, ia tetap berusaha melakukan apa yang diperintahkan oleh tuannya. Karena jika menolak, tuannya tak segan-segan menghukumnya lebih berat lagi.

Di malam sunyi saat musim kemarau panjang, kerusuhan terjadi di kota tempatnya tinggal. Kehidupan perlahan dicabut. Tak ada tumbuhan yang bisa hidup di negeri itu. Ekonomi berhenti di tempat. Orang-orang berjualan pulang dengan tangan hampa.

Lihat juga...