BERDIRILAH kau di bantaran sungai yang telah menjadi Taman Tjimanoek. Tegak seperti tiang lampu taman yang menerangi malam gulita sekali pun tanpa cahaya purnama.
Kaki-kakimu bagai mengakar belukar ke urat-urat tanah pesisir yang beraroma garam. Apa lagi yang kau lihat selain sungai Cimanuk yang meliuk? Selain itu, hanyalah buaya. Ya, buaya.
Kau tertegun memandangi alirannya. Pada riak dan jeramnya seolah melantunkan tembang tarling yang memainkan drama kehidupan orang-orang pantai utara. Sebuah perahu kayu yang baru pulang melaut dikayuh lelaki tua, membelah permukaan air dengan tenangnya seolah juga melintasi sungai di kepalamu.
Tiba-tiba berkelebat kenang, cerita mitologi dari Kakek Abuk tentang lelaki sungai yang sering ia ceritakan berulang pada masa kecilmu. Lelaki itu, katanya, makhluk yang menjaga sungai Cimanuk agar terus meliuk menemukan bentuk.
Cimanuk dengan peradaban baru –kota yang dibangun Arya Wiralodra di bantaran Cimanuk pun kabarnya tak lepas dari bantuan lelaki sungai itu– yang di bangun di atasnya.
Bukan sesuatu yang mustahil, jika kota-kota yang diatur peradabannya sekarang merupakan bangunan baru yang ditegakkan di atas reruntuhan bangunan dan peradaban lama. Penghuni yang bermukim sebelumnya tidak semuanya musnah atau hancur.
Tidak juga semua mengganggu karena terusik ekosistem alamnya. Bahkan banyak di antaranya justru bahu-membahu membangun kota dan tamadun di dalamnya. Seperti dalam mitologi bangsa Nisnas yang mendiami Sbetzbergen, hidup sezaman dengan Jin dan Dinosaurus. Mereka konon disebut-sebut turut membangun Swedia menjadi kota yang berkebudayaan dan bahkan negara yang berkemajuan.