Dialog Lintas Iman Hasilkan Lima Rumusan Risalah

Editor: Satmoko Budi Santoso

JAKARTA – Kementerian Agama bersama tokoh agama dan lintas budaya menyoroti fenomena ekstremisme beragama di masyarakat Indonesia.

Para tokoh agama dan budayawan itu menghasilkan ‘Risalah Jakarta’ yang salah satunya meminta pemerintah merevisi UU Nomor 5 Tahun 1969 mengenai pemberlakukan UU PNPS No 1 tentang Pencegahan Penyalahgunaan atau Penodaan Agama.

Risalah itu membahas tiga tema pokok yakni konservatisme, relasi agama dan negara serta beragama di era disrupsi.

“Pertama, konservatisme sebagai karakter dasar agama, tidak bermasalah. Sejauh dipahami sebagai usaha merawat ajaran dan tradisi keagamaan. Tetapi, konservatisme dapat menjadi ancaman serius ketika berubah menjadi eksklusivisme dan ekstremisme agama, dan menjadi alat bagi kepentingan politik,” ucap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD di Hotel Discovery, Jakarta Utara, Sabtu (29/12/2018).

Menurut Mahfud, eksklusivisme dan ekstremisme agama justru menjauhkan peran utama agama yang bukan hanya panduan moral spiritual, bahkan menjadi sumber kreasi dan inspirasi kebudayaan.

Kemudian yang kedua, Risalah Jakarta menyebutkan, konservatisme yang mengarah pada eksklusivisme dan ekstrimisme beragama seringkali dipicu faktor-faktor yang tidak selalu bersifat keagamaan. Melainkan rasa tidak aman akibat ketidakadilan (politik maupun ekonomi), formalisme hukum, politisasi agama, dan cara berkebudayaan. Seperti pertarungan pada ranah kebudayaan menjadi pertarungan strategis.

“Karena itu, agama tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan,” ujarnya.

Ketiga, era disrupsi, lanjut Mahfud, membawa perubahan dalam kehidupan beragama di Indonesia. Ekses era disrupsi telah menciptakan dislokasi intelektual dan kultural, serta mendorong eksklusif maupun penguatan identitas kelompok.

Lihat juga...