Malaria Masih Mengancam di Ende

Editor: Koko Triarko

ENDE – Di kabupaten Ende, malaria menjadi salah satu penyakit yang harus diperangi, mengingat daerah ini merupakan salah satu kabupaten di pulau Flores yang mendapatkan pemasukan dari sektor pariwisata. Penyakit menular ini dikhawatirkan menjangkiti wisatawan, sehingga berdampak pada perekonomian masyarakat.
“Secara nasional, kabupaten Ende masih merupakan  daerah endemis malaria. Untuk itu, perlu ditangani secara menyeluruh dengan melibatkan seluruh elemen masyarakat,” ujar Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Ende, dr. Munafatma, Jumat (2/11/2018).
Dikatakan Munafatma, pada 2016 Kabupaten Ende merupakan satu-satunya daerah  di pulau Flores yang berstatus endemis malaria, dengan angka Anual Parasite Incidence (API)  lebih besar dari 5 per 1.000 penduduk.
“Pada 2016, angka kesakitan malaria NTT lebih dari 120 per 1.000 penduduk, sedangkan 2017 menurun hingga 5 per 1.000 penduduk. Kabupaten Ende menyumbang lima persen angka malaria di NTT,” ungkapnya.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Ende, dr.Munafatma -Foto: Ebed de Rosary
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi NTT, lanjut Munafatma, selama kurun waktu 10 tahun terakhir, angka kesakitan malaria terus mengalami penurunan sebesar 76 persen.
“Angka kesakitan malaria di kabupaten Ende masih menjadi masalah serius, karena dapat berdampak buruk jika terjadi pada populasi berisiko. Ibu hamil dan bayi adalah adalah kelompok yang paling rentan terhadap malaria,” ungkapnya.
Bila penanganannya tidak optimal, tegas Munafatma, dapat menyebabkan kematian. Malaria dapat menjadi faktor yang memberi kontribusi langsung dalam mempengaruhi tumbuh kembang janin, bayi dan balita sebagai generasi penerus bangsa.
“Selain berdampak langsung terhadap kesehatan, malaria juga dapat menyebabkan dampak tidak langsung, seperti kerugian ekonomi akibat kehilangan waktu kerja. Untuk itu, maslaah malaria perlu ditangani secara komprehensif dengan melibatkan semua elemen masyarakat dan semua steakholders,” pintanya.
Selama ini, tambah Munafatma, masyarakat hanya ditempatkan sebagai obyek, sehingga sudah saatnya masyarakat dijadikan obyek dan dilibatkan. Bahkan, bila perlu menjadi garda terdepan pemberantasan malaria, sebab penyakit ini berbasis lingkungan.
“Kunci keberhasilan dari penanganan malaria, terjadi bila kesadaran dan partisispasi masyarakat meningkat. Sudah  saatnya masyarakat diberi peran yang lebih aktif melalui upaya-upaya pemberantasan penyakit berbasis masyarakat ini,” harapnya.
Ketua Dewan Pimpinan Daereah (DPD) Himpunan Pramuwisata Indonesia (HPI) provinsi NTT, Agustinus Bataona, mengatakan, permasalahan penyakit berbasis lingkungan seperti malaria dan rabies masih sering terjadi di Flores.
“Pemerintah daerah harus serius menangani penyakit menular ini, sebab Flores merupakan sebuah daerah wisata. Kita tentu tidak ingin penyakit menular mengganggu iklim pariwisata,” ungkapnya.
Dikatakan Agustinus, penyakit malaria dan rabies merupakan penyakit serius yang harus diperangi. Sebab, penyakit ini bisa saja menjangkiti wisatawan, apalagi wisatawan asing.
“Masih banyak saluran air yang tergenang dan sampah masih berserakan di pasar dan tempat umum.B ukan saja di Ende, tapi juga di Labuan Bajo dan daerah lainnya di pulau Flores,” tuturnya.
Lihat juga...