Ekak, Tradisi Memberi Sesaji pada Leluhur dan Alam Etnis Tana Ai

Editor: Koko Triarko

MAUMERE – Memberi makan leluhur, arwah dan Nian Tana Lero Wulan, penguasa langit dan bumi yang dalam bahasa agama disebut Allah, merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan saat pagelaran ritual adat yang dilakukan oleh Etnis Tana Ai.
“Ekak merupakan sebuah persembahan atau ucapan syukur kepada sang pemberi kehidupan, yang bagi kami orang Tana Ai disebut Nian Tana Lero Wulan. Juga kepada arwah para leluhur yang telah meninggal serta alam,” sebut Kristianus Titi, salah seorang tetua adat etnis Tana Ai, Minggu (25/11/2018).
Menurutnya, sebelum membuat ritual adat, tetua adat harus meminta izin terlebih dahulu kepada penguasa langit dan bumi, penguasa alam, arwah serta roh-roh yang hidup di dunia lain.
Kristianus Titi, salah seorang tetua adat etnis Tana Ai, Desa Kringa, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka. -Foto: Ebed de Rosary
“Telur ayan dipecahkan untuk memberi makan penguasa langit dan bumi, dan ditaruh di Patan, sebuah kertas cokelat, semisal kertas sak semen. Di Patan juga ditaruh beras, sirih pinang dan juga disiram sedikit arak,” sebutnya.
Patan dalam bahasa Tana Ai atau Epo dalam bahasa Muhang, merupakan bahasa yang biasa dipergunakan etnis Tana Ai, merupakan sebuah alat untuk menyampaikan pesan dan permintaan.
“Sesajen tersebut ditaruh di kertas Patan atau Epo, dan diberikan kepada ketua adat untuk diletakan di tempat-tempat dilakukan rutual, baik di kebun, di tanah lapang sekitar rumah, maupun di sekitar Mahe atau tempat membuat ritual adat,” terangnya.
Sebelum makan bersama, nasi, daging dan makanan lainnya diambil sedikit untuk diletakkan di dalam tempurung kelapa yang sudah dibersihkan atau Korak. Lalu, di atasnya disiram sedikit Moke dan diletakkan oleh tetua adat di sekitar tempat makan bersama.
“Kalau etnis Sikka Krowe Ekak dinamakan Piong, dan harus diletakkan pada sebuah tempat khusus berupa batu ceper. Batu tersebut biasanya diletakan di dalam rumah untuk diletakkan sesajen kepada arwah leluhur dan orang yang telah meninggal,” sebutnya.
Rafael Raga, seorang cendekiawan etnis Tana Ai, mengatakan, masyarakat adat etnis Tana Ai meyakini adat tiga kekuatan besar, yakni Allah, Alam dan Arwah. Tiga kekuatan ini yang harus selalu dihormati dan dihargai.
“Tiga kekuatan ini diyakini selalu menjaga, melindungi dan ikut menentukan sebuah keberhasilan. Untuk itu, dalam setiap ritual adat apa pun harus terlebih dahulu meminta restu dan memberi makan tiga kekuatan ini,” terangnya.
Penyembahan kepada Allah, kata Rafael, memang pantas dilakukan karena melalui Dia ,segala sesuatu berasal dan kepada-Nya manusia mesti bersyukur. Allah yang menciptakan segala sesuatu dan Sang Pemberi Kehidupan.
“Kita juga menghormati para leluhur, karena leluhur diyakini sudah menetap paling dekat dengan Allah. Para leluhur ini yang telah mengajarkan kebaikan dan kebenaran, serta norma-norma yang berlaku dalam sebuah masyarakat adat,” ungkapnya.
Sedangkan penghormatan kepada bumi, dilakukan karena bumi diibaratkan sebagai ibu pemberi kehidupan, air dan segala isinya. “Bumi juga memberikan kelimpahan hasil dan karya manusia yang mendiaminya,” pungkasnya.
Lihat juga...