Daerah Perlu Buat Peta Potensi Risiko Gempa-Likuefaksi
JAKARTA — Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menyatakan pemerintah daerah perlu membuat peta mikrozonasi terkait risiko gempa dan likuefaksi untuk penataan ruang guna meminimalkan dampak bencana.
“Perlu dilakukan pemetaan mikrozonasi gempa dan likuifaksi sehingga sebaran daerah gempa dan likuefaksi dapat dipetakan secara detail,” kata Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho dalam konferensi pers mengenai upaya tanggap darurat bencana di Sulawesi Tengah di Kantor BNPB, Jakarta, Minggu (7/10/2018).
Pada 2012, Badan Geologi telah melakukan penelitian tentang likuefaksi di Kota Palu. Hasilnya menunjukkan Palu tergolong wilayah yang berpotensi sangat tinggi mengalami likuefaksi. Namun permukiman tetap dibangun di area yang berisiko mengalami likuefaksi itu.
“Adanya likuefaksi saat gempa menyebabkan kerusakan bangunan dan korban jiwa di Kota Palu lebih besar dibandingkan dengan daerah lain,” kata Sutopo.
Dia mengatakan peta mikrozonasi terkait risiko gempa dan likuifaksi selanjutnya mesti menjadi pertimbangan dalam penataan ulang ruang kota Palu serta daerah-daerah rawan bencana lain.
Sutopo menjelaskan bahwa saat likuifaksi terjadi, tanah kehilangan kekuatan dan kekakuan akibat tekanan. Tanah yang tersusun atas lapisan kerikil, batu apung, dan air ketika digoncang gempa rongga-rongganya menjadi lebih longgar dan kemudian berubah menjadi lumpur.
“Otomatis beban di atasnya menjadi ambles. Rumah-rumah mengalir seolah-olah hanyut, yang akhirnya tenggelam. Pasalnya, di sana kedalaman air tanah di bawah 10 meter. Saat gempa di Palu pertama 7,4 Skala Richter, lalu disusul 6 Skala Richter, otomatis tanah menjadi lembek dan menjadi lumpur,” tuturnya mengenai likuifaksi yang menyertai gempa yang melanda Palu, Donggala dan Sigi pada 28 September. (Ant)