YHPI: Pemerintah Perlu Akselerasi Akses Obat Hipertensi Paru

Editor: Mahadeva WS

Direktur Pelayanan Kefarmasian Kemenkes Dra. R. Dettie Yuliati, Apt, M.Si.

JAKARTA – Semakin banyak penderita Hipertensi Paru yang tidak mendapat mengakses pengobatan dan perawatan yang terbaik. Hal itu mendorong para ahli Hipertensi Paru dan Yayasan Hipertensi Paru Indonesia (YHPI), mendesak pemerintah mengakselerasi layanan dan pengobatan bagi pasien Hipertensi Paru.

Layanan kesehatan ini meliputi, fasilitas pemeriksaan, perawatan, hingga pemenuhan kebutuhan obat-obatan yang luas, berkualitas dan terjangkau. Berdasarkan data yang dihimpun YHPI selama beberapa tahun terakhir, prevalensi Hipertensi Paru di dunia adalah 1 pasien per 10.000 penduduk. Artinya, diperkirakan terdapat 25 ribu pasien Hipertensi Paru di Indonesia.

Sebanyak 80% pasien Hipertensi Paru, tinggal di negara-negara berkembang, dimana Hipertensi Paru sering dikaitkan dengan penyakit jantung bawaan, penyakit paru lainnya (seperti penyakit paru obstruktif kronis, PPOK), autoimun, pembekuan darah (emboli), dan sejumlah penyakit lainnya.

Menurut catatan YHPI, Hipertensi Paru lebih sering diderita anak-anak hingga usia dewasa pertengahan. Juga lebih sering dialami perempuan dengan perbandingan 9:1, dengan mean survival sampai timbulnya gejala penyakit sekira dua hingga tiga tahun. “Sayangnya, penanganan Hipertensi Paru di Indonesia terkendala oleh berbagai faktor, termasuk belum luasnya kesadaran terhadap bahaya penyakit Hipertensi Paru,” kata Ketua YHPI, Indriani, dalam Dialog Media tentang Hipertensi Paru di Raffles Jakarta, Senin (24/9/2018).

Di dunia, saat ini terdapat 14 jenis molekul obat Hipertensi Paru. Dan baru tersedia empat jenis di Indonesia. “Sisanya, masih harus difasilitasi oleh pasien sendiri. Itupun harganya perlu lebih terjangkau oleh mayoritas pasien. Kami berharap akses atas obat-obatan penyakit hipertensi paru termasuk obat-obatan golongan sildenafil dengan dosis tertentu dapat dipercepat implementasinya,” katanya.

Lihat juga...