BPBD Antisipasi Tanah Ambles di Gunung Kidul

Tanah amblas, ilustrasi, Dok: CDN
YOGYAKARTA – Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Gunung Kidul, mengantisipasi fenomena sejumlah titik tanah ambles dengan memberikan papan petunjuk dan menutupnya, untuk mengantisipasi meluasnya tanah ambles saat musim hujan.
Kepala Pelaksana BPBD Gunung Kidul, Edy Basuki, mengatakan, fenomena tanah ambles di Gunung Kidul muncul di beberapa titik pada awal Februari 2018, seperti di Kecamatan Rongkop ada 17 titik dengan diameter bervariasi dari mulai 2 meter hingga ada yang mencapai 7 meter.
“Fenomena alam tanah ambles di Gunung Kidul terjadi pada Februari 2018 lalu, saat musim hujan. Sampai saat ini belum ada penambahan, baik luasan, maupun jumlahnya,” kata Edy., Selasa (11/9/2018).
Ia mengatakan, tanah ambles di Rongkop itu dilaporkan mulai ada sejak akhir Januari, lalu, setelah terjadinya hujan deras yang mengguyur wilayah tersebut.
Selain Rongkop, sebelumnya juga dilaporkan ada 4 lubang tanah ambles yang muncul di Kecamatan Ponjong.
Edy mengatakan, munculnya fenomena berupa tanah ambles itu juga sudah dikoordinasikan dengan Badan Geologi. Rekomendasinya, agar tak ditutupi dengan sampah, melainkan memakai jerami. Selain itu juga diberi papan informasi terkait fenomena tanah ambles.
“Selain jerami, kami juga memasang pengamanan berupa plastik,” kata dia.
Menurut dia, fenomena tanah ambles ini memang karakteristik Gunung Kidul yang merupakan pegunungan karst. Banyak cekungan atau celah tanah dan juga terdapat sungai bawah tanah.
“Tahun-tahun dulu juga ada peristiwa seperti ini. Hanya, tidak banyak. Kalau orang-orang tua pasti tahu cekungan itu di mana saja,” ucapnya.
Kepala Desa Petir, Kecamatan Rongkop, Sarju, mengatakan di desanya ada sekitar 7 titik tanah ambles yang berada di 5 dusun, yakni, Dusun Siono, Dadapan, Ngurak-urak, dan Ngelo. Amblesan tanah terjadi pada akhir Januari, lalu. Sebagian besar terjadi di tengah area ladang milik warga.
“Dampak dari munculnya lubang-lubang ini, sejumlah area persawahan milik para petani tidak dapat lagi ditanami. Kalau pun bisa ditanami, mereka takut menanaminya, karena khawatir lubang semakin membesar,” katanya.
Fenomena ini, menurut dia, terjadi karena geografis desanya yang merupakan daerah karst (batuan kapur). Di daerah tersebut, area bawah tanah memiliki rongga.
Untuk mengantisipasi lubang semakin besar, pihaknya mengimbau para petani untuk memasukkan tanah, jerami, pohon jagung, dan pohon pisang, bahkan sampah. (Ant)
Lihat juga...