INDEF: Kenaikan Suku Bunga Acuan Hanya Obat Penenang
Redaktur: ME. Bijo Dirajo
JAKARTA — Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai kebijakan Bank Indonesia (BI) yang terus menaikkan suku bunga acuan hingga 50 basis point (bps) atau 5,25 persen guna menahan depresi rupiah, malah akan mengganggu target pertumbuhan ekonomi nasional.
“BI terlalu reaktif dan agresif merespon kebijakan The Fed yang terus menaikkan suku bunga acuan di Amerika Serikat (AS),” kata Peneliti INDEF, Eko Listiyanto pada diskusi ekonomi di ITS Tower, Jakarta, Selasa (3/7/2018).
Menurut Eko, jika suka bunga acuan melejit maka pertumbuhan ekonomi semakin sulit. Kalau ditarik sejak krisis global, fluktuasi The Fed terjadi sejak tahun 2015. Dimana pada gambaran saat yang sama BI ratenya menurun terus.
Indonesia terus berupaya mendorong ekspansi ekonomi. Tapi saat bersamaan itu, AS mengalami perbaikan ekonomi.
Lebih lanjut dia menjelaskan, berdasarkan data BI, pososi cadangan devisa Indonesia akhir Maret 2018 sebesar USD126,00 miliar. Ini menurutnya, masih cukup tinggi meskipun lebih rendah dibandingkan akhir Februari 2018 di kisaran USD 128,06 miliar.
“Kenaikan suku bunga hanya obat penenang atas volatilitas rupiah yang sudah di luar batas yang dampaknya belum tentu efektif menghentikan pelemahan,” tukasnya.
Oleh sebab itu, tambah dia, BI dan pemerintah tidak boleh lengah. Setelah kenaikan suku bunga acuan ini harus ada kebijakan yang langsung mengarah pada perbaikan fundamental ekonomi, terutama sektor riil dan perbaikan transaksi berjalan.
Eko berharap pemerintah bisa menahan diri dari obral obligasi. Sebab menurutnya, kenaikan bunga acuan akan membuat pasar obligasi diminati.