Petani di Lamsel Mulai Tanam Padi di Musim Kedua

Editor: Koko Triarko

LAMPUNG – Pasokan air yang lancar untuk irigasi lahan pertanian dari mata air Gunung Rajabasa, melalui Bendungan Ham Kawokan, membuat petani di Kecamatan Penengaha, saat ini mulai bisa melakukan penanaman.
Tamimi (36), petani padi di Desa Penengahan, Kecamatan Penengahan, menyebut, mulai melakukan masa tanam kedua (MT2) padi varietas Ciherang, yang menjadi pilihannya, karena bisa dipanen pada usia 110 hari setelah semai pertama kali.
Menurutnya, siklus penanaman padi pada masa tanam kedua merupakan musim gadu, meski demikian, lancarnya air irigasi membuat petani tidak terkendala.
Tamimi, salah satu petani di desa Penengahan kecamatan Penengahan menyiapkan benih untuk masa tanam bulan Juni [Foto: Henk Widi]
Pengolahan lahan dilakukan sejak awal April dan diolah menggunakan traktor tangan. Penyemaian benih untuk masa tanam kedua dilakukan sejak pertengahan Mei, dengan prediksi penanaman dilakukan sebelum Lebaran tahun ini.
“Sebagian besar petani di wilayah ini kompak melakukan pengolahan tanah bersamaan, benih disemai dalam satu lokasi dan penanaman akan dilakukan serentak sebelum lebaran,” terang Tamimi, Senin (4/6/2018).
Prediksi masa tanam dilakukan pada Selasa (5/6) nanti, kata Tamimi, dilakukan pada lahan seluas lebih dari sepuluh hektare. Persatu hektare lahan, membutuhkan tenaga kerja untuk penanaman sekitar 10 orang dan buruh cabut benih sekitar 4 orang.
Pola penanaman dengan sistem upah umum dilakukan di wilayah tersebut semenjak pola panen menggunakan mesin combine harvester (mesin pemanen padi). Penanaman beberapa hari sebelum lebaran, sekaligus memperhitungkan warga harus mempersiapkan keperluan lebaran.
Tamimi sudah melakukan penghitungan waktu tersebut saat masa tanam pertama. Pada masa tanam kedua dengan benih disediakan secara mandiri, per hektare ia menyiapkan benih sekitar 200 kilogram. Benih cadangan isediakan sebanyak 20 kilogram, mengantisipasi serangan hama keong mas dan organisme pengganggu tanaman (OPTK) lainnya.
“Seperti masa tanam sebelumnya, kita lakukan penyiapan cadangan benih, meski lahan kami tak pernah terkena banjir, namun antisipasi serangan hama untuk penyulaman,” papar Tamimi.
Tamimi menyebut, sebagian petani melakukan penanaman secara mandiri tanpa ikut kelompok tani (Poktan). Namun, sebagian petani ikut dalam keanggotaan poktan untuk memudahkan penebusan pupuk bersubsidi.
Per hektare lahan dengan minim serangan hama, ditambah perawatan dan pemberian pupuk memadai, Tamimi memastikan bisa mendapatkan hasil panen sekitar 6 hingga 7 ton gabah kering panen (GKP).
Siwi (35), buruh tani pencabut benih (buruh dawut) menyebut, pada setiap musim tanam, ia mendapatkan penghasilan tambahan. Sejak awal masa tanam dengan menjadi buruh cabut benih, dirinya bisa memperoleh upah per hari Rp50.000, dengan sistem harian.
Sementara untuk penanaman, ia masih mendapatkan upah secara borongan dengan penanam hingga 15 orang dengan hasil Rp100.000 hingga Rp150.000 sekali tanam.
“Selama bulan puasa ini, sudah banyak petani yang mengawali proses penanaman, sehingga saya bisa mendapatkan penghasilan,” terang Siwi.
Sebelum lebaran, sejumlah petani yang mempercepat masa tanam diakuinya menanam benih usia 21 hari. Dalam sepekan, ia memastikan bisa menjadi buruh cabut benih dan buruh tanam di lima lahan.
Hasil dari buruh cabut dan tanam dikumpulkan untuk membeli keperluan lebaran. Percepatan masa tanam sebelum lebaran selain menguntungkan bagi petani, diakuinya ikut membantu sejumlah buruh harian.
Meski demikian, kemajuan teknologi pertanian dalam proses pemanenan membuat sejumlah buruh perempuan mulai minim digunakan. Siwi dan sejumlah perempuan bahkan kini tak lagi mengenal sistem ceblok atau bagi hasil. Di mana penanam padi akan memanen dan diberi bagian saat proses panen padi, sebab munculnya mesin dos dan combine harvester meminimalisir penggunaan buruh manusia.
Beruntung, sebagian wanita selain bisa menjadi buruh tanam, juga masih bisa memanfaatkan waktu luang dengan membuat makanan tradisional emping melinjo dan keripik pisang.
Penggunaan alat dan mesin pertanian (Alsintan) diakuinya ikut berimbas penurunan penghasilan bagi kaum perempuan, yang kini sebatas menjadi buruh cabut benih dan tanam padi.
Lihat juga...