‘Teater Objek, Pameran Insan Teater’ Perlihatkan Dapur
Editor: Koko Triarko
Afrizal mengawali pembicaraannya dengan contoh tersebut, karena pameran ‘Teater Objek, Pameran Rupa Insan Teater’ ini juga bergerak hampir seperti itu, yaitu memindahkan teater ke ruang seni rupa. Ada dua hal yang terjadi.
“Bahwa teater selama ini cenderung berorientasi ke pentas, tapi dapurnya tidak pernah ditunjukkan. Sama seperti para pedagang itu, dapurnya bekerja selama sebelas bulan lebih dan kita tidak tahu dapurnya seperti apa. Pameran ini memperlihatkan dapur itu,“ jelasnya.
Afrizal mengatakan, pameran ini berawal dari obrolan sederhana antara dirinya dengan Acep Martin, Di mana Teater Poros yang disutradarai Acep Martin mementaskan Octopus. Ada dua hal yang menarik. Pertama, mereka menggunakan riset dan kedua, mereka menggunakan barang-barang bekas.
“Bagaimana dua hal itu disampaikan tidak dalam pentas teaternya. Riset tidak sebagai background dan barang bekas juga tidak sebagai background. Tapi, riset dan barang bekas sebagai estetika informasi yang diangkat dalam pentas teaternya,“ simpulnya.
Afrizal menyebut, yang terjadi ketika obyek-obyek di atas panggung dipindahkan ke ruang pameran adalah kerja display di pameran yang umumnya normatif itu, mengubah lagi performance mereka.
“Tiba-tiba terjadi semacam pengalihan wacana, dari panggung teater ke galeri pertunjukkan, dan dari galeri pertunjukkan obyek-obyek ini dilumpuhkan oleh model-model display seni rupa, artinya estetika normatifnya tidak menjadi persoalan, yang seharusnya justru menjadi persoalan,“ tegasnya.
Toh, misalnya barang-barang bekas dari Teater Poros dibiarkan begitu saja di sini, kata Afrizal, artinya kita seolah-olah bisa masuk ke satu visualitas yang sebelumnya kita tonton sebagai dua dimensi, tiba-tiba menjadi tiga dimensi, karena kita masuk dan mengalaminya antara obyek dengan tubuh kita secara langsung, dan itu teman-teman lakukan terjebak untuk membuat pameran, sebagaimana para perupa membuat pameran.