Ibuku Memang Jempol

(Oleh: Siti Hardijanti Rukmana)

“Ada apa bu paginya?”, saya bertanya sambil menebak-nebak.

“Kamar mandinya antri, soale podo mules kabeh,” ibu menjawab sambil tetap tertawa geli.

Kami tidak dapat menahan gelak tertawa. Ibuku memang jempol.

“Tiap hari ibu masakin lodeh tempe, kalau terongnya sudah besar ya ganti lodeh terong, tapi tetep pedes dan banyak kuahnya. Sekali sekali ibu dadarin telor dan bikin sambel bawang. Sing penting semua bisa makan cukup,” cerita ibu.

Adik-adik dari Pak Harto dan Ibu Tien
Adik-adik dari Pak Harto dan Ibu Tien yang ikut tinggal di rumah dinas Pak Harto

Saya tanyakan ke ibu : “Kena apa ibu nggak ternak ayam telor bu, jadi kan bisa ambil telornya nggak usah beli?”

Jawab Ibu : “Nggak punya modal buat itu wuk, nggo makan saja kurang.”

“Iya kan pak,” ibu minta penegasan dari bapak.

“Pak kok diem saja tho,” kata ibu ke bapak mulai agak jengkel.

Dengan tersenyum senyum bapak menjawab: “ Lho tadi katanya disuruh diem, sudah boleh bicara tho. Iya betul wuk. Kalau bukan ibumu, kita sudah kelaparan semua.”

Sambil bersungut manja ibu menjawab: “Bapak itu selalu begitu,”

Kenangan manis bapak dan ibu yang selalu memicu saya untuk tidak menyerah dalam keadaan apapun juga. Selama ada kemauan, disitu selalu ada jalan.

Jakarta, 27 Mei 2018
Menjelang Ashar, menunggu berbuka puasa.
Siti Hardijanti Rukmana

Lihat juga...