Terbang, terbanglah bidadariku
Bawalah aku bersamamu
Menari di atas awan seputih salju…
LAGU itu selalu didengungkan oleh Bunda di dekat telingaku sebagai pengantar tidur. Senandung itu dia perdengarkan dengan suara lembut dan terasa indah. Alunan suara itu pelan-pelan membuat kedua mataku teras berat, kemudian terkatup. Pada saat itulah aku merasakan sebuah pengembaraan.
Saat itu aku menjadi seekor burung yang hinggap di pucuk-pucuk pepohonan. Kulempar pandangan jauh ke bawah sana, panorama indah terhampar di depan mata. Apa itu? Oya, anak-anak kampung. Mereka terlihat sedang bermain sepak bola. Kucoba terbang lebih dekat, dan kusaksikan tubuh anak-anak itu terlihat hitam diterpa panas matahari.
Lalu ada apa di pojok kanan lapangan itu, di sebuah halaman rumah yang luas itu ada lagi. Aih, aih, itu ada beberapa anak perempuan sedang bermain lompat tali. Anak-anak itu terlihat tertawa-tawa dengan gembira.
Aku merasa iri. Tentu ada cerita-cerita menarik yang dipercakapkan di antara mereka. Buktinya, mereka tertawa-tawa dengan gembira. Sayangnya, aku hanya seekor burung. Aku tak bisa menikmati kebahagiaan milik manusia-manusia itu. Andai, yah, andai aku bisa menjadi manusia. Tentu aku punya banyak cerita menarik yang bisa kuperdengarkan pada mereka.
Aku bisa tertawa-tawa bersama mereka. Tapi ketika aku manusia, apa yang kubayangkan indah saat menjadi burung, tidak kudapatkan. Ayah dan bunda selalu melarangku bergaul dengan anak-anak di kampung itu.
“Itu bukan kaummu Nak,” ujar Ayah suatu ketika.
“Mengapa aku tidak boleh ke sana, Ayah? Bukankah mereka teman-teman sebaya Mirza?”
“Dengar sayang, kau punya tempat yang lebih baik dan istimewa…”