Pak Harto, Lingkungan, dan Perintah Jangan Tembak!
Editor: Satmoko
JAKARTA – Air di pantai Teluk Jakarta tampak kecoklatan. Sampah berserakan, rumpun-rumpun bakau ditebangi atau dibiarkan meranggas, dan beberapa tempat nelayan menyandarkan perahu tampak tidak terurus. Menyaksikan pemandangan seperti itu, Pak Harto tampak prihatin.
“Bukan di sini saja seperti ini, di kampung saya juga. Sungai yang dulu jernih sehingga saya dapat memandikan kerbau sampai bersih, sekarang airnya sudah kotor. Jij (Anda) bisa kan membantu saya mengurus lingkungan?” tanya Pak Harto kepada Emil Salim dalam buku Pak Harto: The Untold Stories (2012).
Pada saat itu, di bulan Maret 1978, Pak Harto mengajak Emil Salim naik speed boat dan menyusuri sepanjang pantai Teluk Jakarta.
Pada beberapa tempat, Pak Harto menunjuk ke pantai dan berkata pada pria kelahiran Lahat, Sumatera Selatan, 8 Juni 1930 itu, “Jij lihat, kotor sekali. Ini baru kita bangun sepuluh tahun lalu, sekarang sudah menjadi seperti ini. Terbayangkah akan seperti apa kondisinya, jika dua puluh tahun lagi, jika terus dibiarkan seperti ini?” tanya Pak Harto.
Menurut Emil, rupanya itulah prakata Pak Harto untuk jabatan dirinya sebagai Menteri Lingkungan Hidup. Ia pun mengaku terkejut atas tawaran tersebut.
“Pak saya ini ekonom, bukan ekolog. Saya tidak menguasai masalah lingkungan hidup,” tutur Emil merendah seakan meminta Pak Harto untuk menimbang ulang.
Pak Harto malah lebih jauh mengutarakan visi strategisnya kepada Emil. “Pak Emil, ekonom dan ekolog itu sebenarnya sama dan saling terkait karena yang diurus juga sama-sama ‘rumah tangga’,” ujar Pak Harto.
Disebutkan Pak Harto, tugas ekonom itu mengurusi ‘rumah tangga manusia’, sedangkan tugas ekolog mengurusi ‘rumah tangga alam’. “Jadi yang dimaksud Pak Harto adalah tugas saya nanti mengelola urusan rumah tangga alam dan menjaganya agar tidak dirusak oleh urusan rumah tangga manusia,” sebut Emil.