Ekonom: Surat Utang Sebabkan Ekonomi Memburuk

Editor: Koko Triarko

Ekonom Faisal Basri. -Foto: Sri Sugiarti.

JAKARTA – Ekonom Faisal Basri, mengungkapkan, hampir semua negara berhutang, baik itu negara kaya maupun berkembang. Pasalnya, hutang itu merupakan perangkat yang menyatukan dengan kebijakan fiskal dan kebijakan anggaran pemerintahan di setiap negara, dan di Indonesia adalah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Menurutnya, fungsi kebijakan fiskal mempengaruhi perkembangan ekonomi. Ketika pertumbuhan ekonomi sedang lemah karena konsumsi rumah tangga dan investasi menurun, maka pemerintah menambah daya dengan memperbesar belanja untuk menstimulus perekonomian.

Dalam kondisi ini, tambah dia, pemerintah tidak meningkatkan pajak sebagai sumber pembiayaan, tapi menambah utang. Dalam hal berutang ini, yang membedakan zaman Orde Baru (Orba) dengan pemerintahan saat ini, menurutnya adalah bagaimana cara berutangnya.

“Kalau zaman Orba itu, bentuk utangnya adalah utang luar negeri. Jangka 50 tahun, 60 tahun bunganya lunas,” kata Faisal, kepada Cendana News ditemui usai saresehan di kantor Pergerakan Indonesia Maju (PIM), Jakarta, Kamis (15/3/2018) sore.

Menurutnya, zaman Orba itu mengajukan utangnya jelas, yaitu langsung ke Bank Dunia, IDB, atau Amerika.  Bayarnya pun teratur, jangka panjang, dan bunga murah, sehingga meskipun utangnya banyak, tapi rupiah tidak terganggu.

Beda dengan pemerintahan saat ini, yang menurutnya dalam berutang  mengeluarkan surat utang negara atau obligasi. “Nah, surat utang itu 50 persen dipegang oleh asing. Kalau dulu bayar utangnya teratur, kalau sekarang bayar utangnya, hari ini surat utangnya dijual sama asing, rupiahnya kelepekan,” kata Faisal.

Jadi, yang dipermasalahkan bukan jumlah utang, tapi bagaimana cara mengutangnya. “Itu yang tidak benar,  membuat rupiah gonjang-ganjing,” ujar Faisarl, sembari mengimbau, agar pemerintah menyadari, bahwa kalau banyak utang dalam bentuk surat utang itu berdampak ekonomi memburuk.

Lihat juga...