Tetap Eksis, Perajin Caping Ponorogo Rata-rata Berusia Senja
PONOROGO — Dia dipanggil Mbah Landep (84 tahun). Warga Desa Karanggebang, Kecamatan Jetis, Ponorogo sudah menggeluti usaha kerajinan topi anyaman bambu atau yang biasa disebut dengan caping. Meski berusia senja, Mbah satu ini masih terampil menganyam bambu.
Sejak 1984, Mbah Landep memproduksi caping. Ia mengaku mendapatkan ilmu membuat caping dari orang tuanya. Dalam satu hari ia mampu membuat 10 lembar anyaman bambu atau eblek setengah jadi.
“Satu eblek setengah jadi dijual dengan harga Rp4 ribu per buah,” jelasnya kepada Cendana News, Selasa (5/12/2017).
Menurutnya, pembuatan eblek ini menjadi penghasilan utama. Pasalnya, di usia senja ini ia memilih bekerja menjadi penganyam caping bambu ketimbang pekerjaan yang lain.
“Kerjaan ini yang bisa dikerjakan di rumah dan santai,” ujarnya.
Sementara itu, tugas lainnya diemban oleh Mutiani (52 tahun) yang bertugas membuat irat bambu atau bambu yang sudah ditipiskan untuk dianyam. Dalam satu hari ia mampu mengirat satu batang bambu.
“Bambu yang digunakan khusus bambu apus,” cakapnya.
Warga lainnya, Mbah Jemiah bertugas membuat blengker atau pinggiran caping dan topong atau tempat kepala. Dalam sehari ia mampu memproduksi satu caping.
“Satu caping ukuran kecil dijual dengan harga Rp10 ribu,” imbuhnya.
Kepala dusun, Agus Wiyono menambahkan Desa Karanggebang memang dikenal sebagai sentra pembuatan caping. Menariknya, pembagian tugas pembuatan caping dilakukan secara bergotong royong.
“Jadi ada yang tugasnya hanya menganyam, ada yang tugasnya menipiskan bambu, ada pula yang membuat blengker, jadi sendiri-sendiri,” terangnya.
Menurutnya dalam satu bulan, 25 perajin mampu menghasilkan 500 caping yang langsung dipasarkan ke Blitar. Karena pangsa pasar di Ponorogo kurang bagus, dipilihlah Kota Blitar untuk pemasarannya.