Mukaromah, Korban Kawin Muda Ingin Jadi Dokter
“Salon di Banjarmasin punya kakak saya, tapi saya yang mengelola. Kalau salon di Tapin punya saya sendiri,” dia berkata.
Toh, walaupun tak menamatkan pendidikan wajib belajar 12 tahun, ia masih menyimpan hasrat menempuh pendidikan kedokteran. Cita-cita ini terus membuncah di tengah ketidakpastikan masa depan pendidikan dokternya.
“Saya ingin masuk fakultas kedokteran, tapi enggak tahu dimana universitasnya,” ujar dia seraya berkaca-kaca.
Menurut Sekretaris Jenderal Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Dian Kartika Sari, kasus Mukaromah merupakan fenomena puncak gunung es karena angka pernikahan dini masih cukup tinggi di Kalimantan Selatan. Ia menuturkan tingginya angka pernikahan dini di Kalsel dipicu faktor kebiasaan dan tradisi yang sulit dihapus di tengah masyarakat.
“Bahkan menganggap menikah usia anak lebih baik karena mengurangi beban keluarga. Akses pendidikan yang masih terbatas, jauh dari rumah, membuat mereka mengeluarkan biaya mahal juga jadi alasan lain orang tua di sini menikahkan anaknya,” kata Dian Kartika.
BKKBN Kalimantan Selatan merilis, usia perkawinan anak di Kalsel mencapai 9,24 persen. Melalui data itu, terungkap perkawinan anak usia 10-14 tahun di Kalsel mencapai 9,2 persen dari jumlah perkawinan, dan usia 15-19 tahun tercatat 46 persen dari angka total perkawinan di Kalsel. Adapun tiga kabupaten/kota penyumbang pernikahan dini terbanyak di Kalsel adalah Tapin, Hulu Sungai Selatan, dan Kota Banjarmasin.
Asisten Deputi Pengasuhan Hak Anak atas Pengasuhan Keluarga dan Lingkungan, Deputi Tumbuh Kembang, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Rohika Kurniadi Sari, mengatakan, Kalimantan Selatan menduduki urutan kelima sebagai provinsi dengan angka pernikahan dini terbanyak se-Indonesia, setelah Sumatera Barat (1), Sulawesi Tengah (2), Kalimantan Tengah (3), dan Papua (4).