LARANTUKA — Dahulu kala, masyarakat desa Bantala selalu mengkonsumsi setiap hasil buruan dan makanan tanpa dimasak, hingga akhirnya ditemukannya api yang digunakan untuk berbagai hal lewat proses Gehe Knehe dalam upcara ritus api.
Upacara ini kembali dipertontonkan masyarakat adat desa Bantala saat festifal Lamaholot beberapa waktu lalu untuk menyalakan obor tanda dimulainya festival yang diikuti oleh tiga kabupaten dalam rumpun Lamaholot.
Silvester Petara Hurit, salah seorang seniman dan budayawan Lamaholot mengatakan, Ritus Api sebetulnya upacara dimana masyarakat tradisional Lewotala menghadirkan kembali peristiwa mitologis saat api itu ditemukan.
Dan api dari mitologi yang lebih tua, terang Sil sapaannya, diambil dari dasar bumi yang ada penguasanya. Hal tersebut juga menandai sebuah peradaban baru manusia, dimana dengan api orang bisa membakar ladang, memasak nasi dan lainnya.
“Lebih jauh dari itu ritus api bukan hanya bermakna peristiwa keseharian saja, tetapi memiliki makna spiritual simbolik, elemen vital dari alam yang membuat hidup ini berdenyut, mengobarkan semangat, gairah membakar segala yang beku, kaku dan jahat,” tegasnya.
Api juga dimaknai peristiwa kudus, dimana yang kotor dan jahat dibakar dan dikembalikan atau dibangkitkan gairah baru, semangat pada kebenaran untuk hal-hal yang terbaik.
“Proses ritualnya didahului dengan mengucapkan doa kepada Lera Wulan Tana Ekan lalu ada ritus pensakralan bahan-bahan membuat api lalu bambunya dibelah, digosok sambil melantunkan doa dan memanggil dewa api,” terangnya.
