Memasuki MEA, Pemerintah Indonesia Harus Benahi Pertanian

JAKARTA — Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang mulai berlaku awal 2016 sempat jadi momok menakutkan bagi sejumlah masyarakat Indonesia mengingat adanya kekhawatiran ketidakmampuan bersaing dalam menjual produk dan jasa di kawasan itu.

Para pemimpin ASEAN hampir 2 dekade lalu, sepakat membentuk pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara  akhir 2015 yang dikenal sebagai MEA.

Hal itu dilakukan agar daya saing ASEAN meningkat serta bisa menyaingi Cina dan India untuk menarik investasi asing.

Pembentukan pasar tunggal ini memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara sehingga kompetisi akan makin ketat.

MEA tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional, seperti dokter, pengacara, dan akuntan.

Selain itu, juga membuka arus bebas investasi dan arus bebas modal di kawasan yang merupakan kekuatan ekonomi ketiga terbesar setelah Jepang dan Tiongkok.

Pemerintah, termasuk Presiden RI Joko Widodo, dalam berbagai kesempatan mengatakan bahwa memasuki era MEA itu artinya peningkatkan kemampuan untuk berkompetisi menghadapi persaingan menjadi penting. Presiden berharap masyarakat tidak takut terhadap persaingan.

Sebenarnya, kata Jokowi, hampir semua kepala negara ketika bertemu dirinya justru mengkhawatirkan negara mereka kebanjiran produk dari Indonesia. Mereka beranggapan justru Indonesia yang diuntungkan dengan era persaingan nanti.

ASEAN beranggotakan 10 negara yakni Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, Brunei Darussalam, Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja.

Indonesia sebenarnya telah menyiapkan diri dalam memasuki era MEA meski masih ada sejumlah catatan perbaikan dari berbagai kalangan demi meraih kemenangan dalam persaingan.

Lihat juga...