JAKARTA — Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai praktik peradilan pidana anak di Indonesia yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) masih jauh dari ideal.
Sejak disahkan pada tanggal 30 Juli 2012, tantangan implementasi SPPA ternyata mulai terbukti, mulai dari regulasi pendukung UU SPPA yang tidak kunjung diselesaikan, minimnya jumlah institusi baru pengganti tempat penahanan anak, hingga besarnya jumlah anak dalam tahanan.
Menurut Direktur Eksekutif ICJR Supriyadi Widodo Eddyono di Jakarta, Jumat, berdasarkan UU SPPA, pemerintah sebenarnya diwajibkan membuat enam materi dalam bentuk peraturan pemerintah dan dua materi dalam bentuk peraturan presiden sebagai regulasi pendukung.
“Akan tetapi, sampai saat ini pemerintah baru merampungkan tiga dari delapan perintah UU SPPA,” kata Supriyadi.
Lahirnya empat lembaga, yakni Lembaga Pembinaan Khusus Anak (LPKA), Lembaga Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial (LPKS), Ruang Pelayanan Khusus Anak(RPKA), dan Lembaga Penempatan Anak Sementara (LPAS) sebagai pengganti tempat penahanan, pembinaan, dan lapas anak, sebagaimana diamanatkan oleh UU SPPA juga jadi sorotan.
Untuk anak berumur 14 sampai dengan 18 tahun yang berkonflik dengan hukum, UU SPPA memandatkan penitipan anak di LPAS sebagai pengganti rutan.
Bila belum ada LPAS di wilayah yang bersangkutan, anak dapat dititipkan di LPKS. Namun, yang menjadi masalah, sampai saat ini LPAS dan LPKS belum banyak tersedia di seluruh Indonesia.
“Hanya beberapa wilayah di tingkat provinsi yang memiliki LPAS. Akan tetapi, hampir sama dengan kondisi LPAS, jumlah LPKS pun tidak ada di setiap kabupaten. Akibatnya, aparat penegak hukum sering kali bingung ke mana anak yang bersangkutan akan ditempatkan,” ucapnya (Ant).