RABU, 12 APRIL 2017
SLAWI — Bagi sebagian pemuda yang berstatus sarjana, memilih profesi sebagai seorang petani sangatlah tidak diminati. Kebanyakan dari mereka lebih memilih sebagai seorang karyawan di perusahaan ternama seperti Badan Usaha Milik Negara (BUMN) atau di perusahaan besar lainnya.
![]() |
Mohamad Ibnu Kharisma dan kebun pepaya miliknya. |
Tapi tidak bagi Mohamad Ibnu Kharisma (28), pemuda lulusan Sarjana Fakuttas Teknik ini lebih meminati di bidang pertanian khususnya pembudidayaan pepaya jenis pepaya california.
Profesinya ini berawal dari undangan pelatihan kepada Gapoktan Desa Kebandingan, Kecamatan Kedungbanteng, terkait budidaya pepaya california yang diadakan oleh Dinas Pertanian Kabupaten Tegal tahun 2012. Setelah mengikuti pelatihan, akhirnya dia tertarik dan memutuskan untuk fokus dengan bertanam pepaya california di lahan seluas 2000 m² yang ditanami 400 pohon pepaya.
Saat ditanya kenapa lebih memilih bertanam pepaya daripada bertanam padi, dia mengatakan bahwa jika selama ini petani padi semakin mengalami kesulitan. Jika musim tanam, maka kesulitan pertama adalah mencari pencocok tanam, karena buruh pencocok tanam semakin sedikit dan jika pun dapat maka ongkos tanamnya bertambah mahal.
Saat menginjak masa perawatan, biasanya sering terjadi kekosongan pupuk, selain itu harga pupuk dan obat-obatan juga mahal, serta upah harian buruh juga bertambah mahal. Saat masa panen raya musim penghujan, susah sekali mencari tenaga kerja untuk potong padi, sehingga biasanya dijual ke tengkulak, dengan harga yang cukup rendah.
“Seperti panen saat ini, orang tua saya menjual padi cuma 2,5 juta tiap seperempat bahu. Padahal kalau dihitung ongkos yang dikeluarkan untuk menggarap sawah lebih dari itu. Dimulai ongkos traktor, perawatan, pupuk, dan lain sebagainya,” ungkap Kharisma, Rabu (12/4/2017).