JUMAT, 3 FEBRUARI 2017
MAUMERE — Air menjadi salah satu kebutuhan vital bagi manusia. Bukan hanya dikonsumsi namun bagi para petani lahan basah, ketersediaan air merupakan harga mati. Sawah tanpa cukup air, gagal panen sudah pasti menghadang.
Areal persawahan di Dusun Koro, Desa Reroroja, Kecamatan Magepanda. |
Minimnya air merupakan sebuah persoalan serius bagi para petani lahan basah khususnya di sentra-sentra areal persawahan di Kecamatan Magepanda, Mego, Paga, Waigete dan Talibura. Meski tidak semua wilayah kecamatan di Kabupaten Sikka ini memiliki lahan sawah.
Robertus Ngole, petani Dusun Koro, Desa Reroroja, saat ditemui Cendana News di areal persawahannya Jumat (3/2/2017) mengeluhkan ketersediaan air yang minim saat musim kemarau melanda Kabupaten Sikka Nusa Tenggara Timur (NTT).
Dikatakan Robertus, bila debit air dari mata air menurun, para petani terpaksa begadang agar bisa mendapatkan air. Kadang terjadi pula pertengkaran antarpetani akibat berebut air untuk mengairi areal sawah masing-masing.
“Bila air debitnya kurang maka kami harus begadang supaya saat sawah lainnya sudah dialiri cukup air, maka kami akan menutup saluran air ke sawah tersebut agar bisa mengaliri areal persawahan kami,” terangnya.
Debit Air Menurun
Pertanian lahan basah dan kering di Kabupaten Sikka, bila dilihat memang berbeda jauh hanya sekitar 30 persen petani saja yang menggarap lahan basah sebab kontur tanah yang berbukit dengan kemiringan sekitar 30 derajat menyebabkan lahan sawah hanya terjadi di daerah rata di sekitar pantai saja.
Direktur Wahana Tani Mandiri (WTM), Carolus Winfridus Keupung yang sudah puluhan tahun bergelut mendampingi petani saat ditemui Cendana News di kantornya, Kamis (2/2/2017) menjelaskan, beberapa persoalan pertanian lahan basah yang terjadi di mana-mana, yakni terjadi akibat kekurangan air saat musim panas.