Bermodal sebuah kolam tradisional cukup besar milik mertua, ditambah beberapa ratus ekor bibit ikan lele, Ade memulai usahanya. Dalam waktu 3 bulan, ikan lele kelihatan sudah bisa dipanen. Namun, hasil panen tidak sesuai harapan, karena ikan lele berukuran besar banyak hilang dimakan hewan biawak yang masuk ke dalam kolam pada malam hari.
Setelah berembuk dengan suami, ditambah saran dari mertua, bahwa unggas lebih menguntungkan dibandingkan ikan, Ade mencoba mengalihkan uang yang didapat dari hasil penjualan ikan lele sebagai modal awal membeli bibit bebek peking petelur dan pedaging. Masih di tempat mertua, dengan modal sekitar Rp. 5 Juta, Ade mencoba beternak 100 ekor bebek peking di Bogor.
Namun, tantangan keras kembali menghampiri Ade. Satu-persatu bebek peliharaannya mati terkena wabah penyakit unggas. Ade hanya menikmati hasil ternak bebek peking selama 1,5 bulan. “Takut bebek kami mati semua dan modal hilang begitu saja, saya coba introspeksi diri ke belakang. Saya tidak tahu cara berternak unggas, dan saya kurang sabar ketika membudi-dayakan ikan lele. Padahal, ilmu yang saya dapatkan selama ini adalah untuk budi-daya ikan konsumsi,” imbuhnya.
Akhirnya, Ade memutuskan kembali menekuni budi-daya ikan konsumsi. Kali ini, ia mengambil jenis ikan yang tangguh untuk dibudi-dayakan, yaitu ikan gurami. Awal 2014, Ade memulai usaha budi-daya ikan gurami. Kolam yang dahulu digunakan untuk budi-daya ikan lele disulap menjadi kolam ikan gurami dengan kedalaman kurang lebih 1 meter.
Dengan modal sekitar Rp. 2 Juta, Ade menebar kurang lebih 2000 ekor bibit gurami, berikut mendapat pakan atau makanan lengkap untuk 1 periode pembesaran ikan gurami atau selama 6-7 bulan. Satu kilogram ikan gurami, biasanya berisi tiga ekor gurami berukuran sedang (seukuran tangan laki-laki dewasa -red), dengan harga antara Rp. 30-40.000 per kilogram. Panen pertama, Ade menghasilkan omset sekitar Rp. 17 Juta.