Yuhanna Dedikasikan Hidup Lestarikan Tapis di Lampung Selatan

SABTU, 17 DESEMBER 2016

LAMPUNG — Keberadaan kain-kain dengan motif tapis dan inuh, bagi masyarakat tradisional Lampung masih menjadi kebutuhan yang penting untuk beragam kegiatan upacara adat dan acara kebesaran. Bahkan, kini kain tersebut telah menjadi kain yang digunakan untuk seragam Pegawai Negeri Sipil (PNS) di lingkungan Pemerintah Daerah Lampung. Keberadaan kain tenun tapis dan inuh di wilayah Lampung dengan bahan dan proses pembuatan dengan sistem kait dan kunci, hingga kini masih juga ditekuni oleh sebagian pengrajin kain tradisional. Salah-satunya, Yuhanna (59), warga Desa Palembapang, Kecamatan Kalianda, Kabupaten Lampung Selatan.
Yuhanna menunjukkan salah-satu kain tenun tapis inuh buatannya.
Sebelum mengetahui proses pembuatan tenun tapis, Yuhanna menjelaskan terlebih dahulu keberadaan masyarakat Lampung yang memiliki dua kelompok masyarakat adat, yaitu masyarakat Lampung beradat Pepadun dan beradat Saibatin. Setiap adat memiliki kerajinan tenun sebagai ciri khasnya, meski secara umum sebagian masyarakat menyebut semua kain asal dan buatan pengrajin Lampung disebut kain tapis. Padahal, dalam penyebutan, perbedaan akan terlihat dengan ciri khas, jika orang Pepadun menggunakan kain tapis, sementara orang Saibatin menggunakan kain kapal dan kain inuh dalam aktifitas adatnya.
Secara khusus, Yuhanna yang melakukan pembuatan tenun inuh sejak tahun 1987, mengungkapkan, kain inuh merupakan kain khas masyarakat pesisir yang tinggal di kawasan dekat pantai. Ragam hiasnya dipenuhi hiasan gelombang, makluk-makluk air seperti teripang, tunas, sulur, daun, dan kapal serta beberapa motif gajah. Ragam hias tersebut menyimbolkan kesuburan dan geneologis. Sementara, makhluk air kecil dalam tubuhnya menyimbolkan dari generasi baru yang akan lahir dan pucuk daun dengan untaian ekor menggambarkan penyebaran benih kehidupan baru.
Proses pembuatan yang rumit membuat kain ini sudah jarang ditemui, meski pihak Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Kabupaten Lampung Selatan sempat menghidupkan kembali proses pembuatan tenun inuh tersebut. Yuhanna merupakan salah-satu pemilik kerajinan kain tenun inuh yang sekaligus ikut melestarikan, memberdayakan kaum perempuan di desanya untuk menekuni pembuatan tenun inuh.
“Selain melakukan pembuatan, saya juga melakukan pelatihan kepada kaum perempuan yang ada di desa sebagai sarana pemberdayaan masyarakat, karena harga kain tenun inuh memiliki nilai ekonomis tinggi, sekaligus upaya untuk melestarikan kain yang sudah jarang dibuat di Lampung ini,” terang Yuhanna, saat dikonfirmasi Cendana News di Sanggar Tapis Muakhi miliknya di Desa Palembapang, Sabtu (17/12/2016).
Beragam motif tapis inuh dalam berbagai bentuk dan kegunaan lain buatan Yuhanna.
Kekhasan kain tapis dengan menggunakan bahan khusus, bahkan sebagian menggunakan benang emas serta pembuatan yang rumit dan lama, membuat kain inuh cukup menarik dan hanya digunakan sebagai bagian upacara adat. Tenunan berliku-liku yang menghiasi keliman, terkesan mewah membuat kain ini hanya dipergunakan untuk kegiatan khusus, meski saat ini pola-polanya ditiru dengan sistem cetak untuk pembuatan kain dengan motif yang sama dan bisa diproduksi massal, di antaranya untuk pembuatan seragam.
Motif-motif tapis dan inuh yang umum di antaranya kapal, pohon dan stik figur, kini banyak ditemukan dalam bentuk kain yang dijual di beberapa toko kain yang membuatnya dengan proses menggunakan mesin.
Sementara itu, kain inuh buatan Yuhanna merupakan kain yang diproduksi dengan cara tradisional, menggunakan tangan dengan cara mempekerjakan kaum perempuan di desa yang sehari-hari bekerja sebagai petani dan pekebun. Proses pembuatan dengan cara tradisional dikerjakan kaum perempuan pada saat senggang dan di luar masa panen, karena proses pembuatan tapis dan kain inuh harus telaten.
Ia menerangkan, pembuatan kain tapis yang sederhana membutuhkan waktu sekitar dua bulan, dengan menggunakan bahan kain dan benang beragam warna dengan dominasi warna keemasan. Proses pembuatan yang rumit mengakibatkan harga jual kain tapis atau inuh menjadi mahal, sekitar Rp.750 Ribu hingga Rp. 4 Juta. Dari harga tersebut, kaum perempuan pembuat kain tapis bisa memperoleh upah sekitar Rp. 500 Ribu untuk tapis yang memiliki harga jual di atas Rp. 2 Juta per lembar. Sementara pernak-pernik lain seperti selendang, kopiah dan dompet bisa dijual dengan harga Rp. 200 Ribu hingga Rp. 1 Juta.
Kain tapis buatan sanggar yang dimiliki Yuhanna, tak sekedar diminati oleh masyarakat lokal Lampung. Namun, juga oleh warga dari berbagai negara lain seperti Singpaura, Brunei Darussalam, dan Jepang. Bahkan, juga Thailand yang menyukai motif gajah, karena negara tersebut dikenal sebagai negeri gajah putih.
Beberapa bahan membuat tenun tapis inuh.
Proses pemasaran tapis, kain inuh, menurut Yuhanna, melibatkan berbagai pihak di antaranya Universitas Indonesia. Ia pun juga mengaku mendapat bantuan pembinaan dari perusahaan yang ada di Lampung untuk pelestarian tapis tersebut.
Kain-kain tapis yang banyak dipesan masyarakat umum selama ini, menurut Yuhanna, di antaranya kain dengan motif kapal, ayat-ayat kursi yang sebagian dijadikan hiasan dinding. Sementara untuk tapis aplikatif digunakan sebagai topi, selendang, sarung, dompet, serta berbagai pernak-pernik lain yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari.
Meski pembuatan tapis masih dilakukan dengan alat tenun tradisional yang diberi nama pemidangan, Yuhanna mengaku hasilnya cukup sempurna dan disukai banyak pihak. Sempat memiliki anggota kelompok binaan terdiri dari sekitar 60 orang perempuan di desanya, kini ia mengakui jumlahnya semakin berkurang karena sebagian sudah bekerja di tempat lain. Ia juga mengakui minat anak muda menekuni pembuatan tapis jadi kendala produk kain tersebut semakin tak dikenal generasi muda.
Sebagai pelestari tenun tapis dan inuh, Yuhanna berharap generasi muda bisa diperkenalkan proses pembuatan kain khas Lampung tersebut. Sebab, menurutnya, banyak generasi muda selama ini hanya mengenal tapis dan inuh dari gambar, sementara muatan lokal dalam pendidikan di sekolah masih cukup minim dan ia khawatir, inuh dan tapis akan punah jika tidak ada generasi penerus yang menekuni proses pembuatan kain tapis.
Tenun Inuh Diakui Dirjen HAKI
Para pengrajin tenun tapis dan inuh di Kabupaten Lampung Selatan, kini juga sudah mulai memiliki kesempatan untuk memasarkan produk tenun khas Lampung tersebut dengan perlindungan adanya Hak Kekayaan Intelektual untuk pembuatan tapis tersebut. Pasalnya, kerajinan khas daerah di Kabupaten bertajuk Gerbang Sumatera ini telah terdaftar di Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) Kementerian Hukum dan HAM RI dengan merk Inuh Kalianda.
Dinas Pariwisata Seni dan Budaya (Disparsenibud) Lampung Selatan bahkan memastikan sertifikat merk yang dikeluarkan Kemenkum HAM RI tersebut telah disimpan di Kantor Dinas Pariwisata Seni dan Budaya, semenjak masa kepemimpinan Kepala Dinas Hermansyah Hamidi hingga kini dipimpin oleh Fauziah Arief.  Berdasarkan data Dinas Pariwisata Seni dan Budaya, Inuh Kalianda terdaftar dengan Nomor Registrasi IDM000255513.
Pendaftaran merk Inuh Kalianda yang dilakukan pada tahun 2008 lalu tersebut, sekaligus menjadi sebuah kesempatan bagi para pengrajin untuk lebih percaya diri, bahwa kain tradisional hasil karya perempuan dan pengrajin Lampung Selatan diakui sebagai hak kekayaan intelektual. Saat itu, yang mendaftarkan Inuh Kalianda adalah mantan Ketua Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Lamsel, Hj. Ririn Kuswantari, dan sertifikat dari HAKI disimpan di Kantor Disparsenibud Kabupaten Lampsel. Terdaftarnya Inuh Kalianda di Kemenkum HAM, tenun asli Lampung Selatan, merupakan salah-satu hak kekayaan intelektual yang dimiliki Lamsel.
Pada bagian lain dengan terdaftarnya merk kain inuh ini, pembinaan terhadap kelompok usaha kerajinan akan semakin membawa dampak positif. Sebab, nilai jual kain inuh yang merupakan kerajinan yang diproduksi oleh tangan-tangan pengrajin atau hand made akan jauh bernilai ekonomis. Selain dengan adanya pemberian merk, juga akan menambah nilai ekonomis dari hasil produksi kain inuh.
Belakangan ini, kain tapis inuh memang sempat akan diklaim sejumlah daerah. Bahkan, sejumlah daerah itu juga berniat mendaftarkan ke Kemenkum HAM RI. Namun, pendaftaran tidak dapat diproses, karena sudah terdaftar sebagai HAKI yang dimiliki Lampung Selatan.

Jurnalis : Henk Widi / Editor : Koko Triarko / Foto : Henk Widi

Lihat juga...