SELASA, 27 SEPTEMBER 2016
YOGYAKARTA — Penggunaan morfin di bidang kesehatan untuk mengurangi beban rasa nyeri dan sakit merupakan hak asasi bagi pasien. Namun, ketersediaan di banyak rumah sakit selama ini masih sangat minim. Hal tersebut dikarenakan karena adanya ketakutan akan menimbulkan ketergantungan, dan banyak dokter takut dikriminalisasi akibat memberikan resep morfin.

Di bidang kesehatan, penggunaan morfin sebagai obat nyeri berat dibolehkan. Pemerintah pun telah menjamin penggunaan morfin di bidang kesehatan melalui berbagai regulasi yang menjamin akses morfin untuk mengatasi nyeri berat pasien di pelayanan kesehatan. Regulasi itu menyebutkan, jika Pemerintah menjamin ketersediaan obat dari golongan narkotika untuk pelayanan kesehatan.
Demikian diungkapkan pengajar di Departemen Farmakologi, Dr. Rustamaji, M.Kes., saat menjalani Ujian Terbuka Doktor dengan disertasinya berjudul Akses Terhadap Morfin dalam Penerapan Kebijakan Obat Nasional di Indonesia, yang bertempat di Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada Yogyakarta, Selasa (27/9/2016).
Rustam mengatakan, dalam pelayanan kesehatan, morfin merupakan obat esensial untuk mengatasi nyeri berat. Sesuai dengan Daftar Obat Esensial Nasional (DOEN) Kementerian Kesehatan Tahun 2014, ketersediaan morfin terdapat dalam bentuk lepas cepat 10 mg dan lepas lambat 10 mg dan 30 mg. Selain itu juga tersedia dalam bentuk injeksi intramuskuler, sukutan dan intravena.
Meski telah dirasakan manfaat dan keuntungan morfin bagi pasien, kata Rustam, masih banyak dokter yang enggan untuk memberikannya. Di sisi lain, pasien seringkali juga menolak penggunaan obat morfin karena takut adanya efek ketergantungan.