Legenda Rakyat Reog Ponorogo dalam Perspektif Humanis Polri

SENIN, 22 AGUSTUS 2016

JAKARTA, TMII — Wakapolres Pelabuhan Tanjung Priok, Kompol Rully Indra W terlihat bahagia usai menyaksikan anggotanya melakukan atraksi Tari Reog Ponorogo. Ketika ditemui Cendana News di Anjungan Jawa Timur Taman Mini Indonesia Indah dalam tugas pendampingan terhadap Grup Reog Singo Budoyo Mudho, ia menyatakan kekaguman tertinggi bagi rekan-rekan anggota yang berhasil menjalankan tugas penting selain sebagai penjaga Kamtibmas (Keamanan dan ketertiban masyarakat), yakni menjadi pelaku seni dalam skema baru jajaran Kepolisian Polres Pelabuhan (KP3) Tanjung Priok untuk ikut serta melestarikan seni budaya Nusantara.
“Setiap grup ini mengikuti pentas baik itu kompetisi maupun partisipasi, menurut saya pribadi bukan dari siapa juaranya, bisa terkenal atau tidaknya, akan tetapi lebih kepada peran serta Polri khususnya Polres Pelabuhan Tanjung Priok sebagai duta pelestarian budaya Nusantara,” terang Kompol Rully mengawali perbincangan dengan Cendana News.
Disebutkan, hal ini juga sesuai dengan perintah langsung Kapolres Metro Pelabuhan Tanjung Priok, AKBP Hanny Hidayat saat pertama kali ditugaskan menjadi pimpinan baru mereka. Ada satu perspektif baru yang coba diangkat bahwa usaha Polri dalam menangani setiap permasalahan ditengah masyarakat adalah persuasif dan humanis. Untuk mendukung hal tersebut maka Polri harus dekat dengan masyarakat. Dan budaya adalah salah satu media penghantar mumpuni untuk lebih mendekatkan diri dengan masyarakat.
Menyingkap sekilas Legenda Reog Ponorogo dalam sebuah sinopsis, alkisah pada suatu ketika Prabu Kelono Sewandono dari Kerajaan Bantar Angin bermaksud meminang Puteri Songgo Langit nan cantik jelita. Dengan maksud tersebut ia berangkat dalam sebuah iring-iringan pasukan kerajaan dalam pengawalan Patih Bujang Ganom (Bujang Anom) bersama Prajurit Warok (Klono) dan Prajurit Jatil (berkuda).
Namun ditengah perjalanan mereka dicegat oleh siluman berbadan manusia, berwajah macan, dengan burung merak diatas kepala yang dijuluki Dadak Merak. Terjadilah pertempuran hebat antara Dadak Merak melawan Prajurit Warok, Jatil, dan Patih Bujang Anom.
Sementara pertempuran berlangsung, murkalah Prabu Kelono Sewandono dengan kedegilan Dadak Merak. Ia pun turun tangan sekaligus menaklukkan Dadak Merak menggunakan pecut pusaka Samandino miliknya. Singkat cerita, Dadak Merak takluk dihadapan Prabu Kelono dan keduanya memutuskan untuk berteman dengan syarat untuk tidak saling mengusik antara satu sama lain.
“Dari sinopsis tersebut, jika difilosofikan maka legenda Reog Ponorogo sesuai dengan nafas Polri dalam menangani Kamtibmas yaitu Persuasif dan Humanis. Hal itu dapat dilihat dalam bagian sinopsis dimana Dadak Merak yang jahat ditaklukkan oleh Prabu Kelono menggunakan pecut saktinya. Itulah hukuman bagi Dadak Merak. Namun setelah ia mendapat hukuman maka Prabu Kelono memperlakukannya dengan baik asalkan tidak mengulangi lagi kesalahannya,”sambung Kompol Rully Indra menerangkan filosofi tersebut.
Bersama grup Reog Ponorogo ‘Singo Budoyo Mudho’ maka jajaran Polres Pelabuhan Tanjung Priok terus berusaha mengambil hati masyarakat dengan pendekatan persuasif serta penanganan yang humanis. Budaya sebagai salah satu media yang mereka gunakan diharap mampu meningkatkan kinerja serta kerjasama antara aparat dan masyarakat dilapangan dalam menumpas setiap masalah Kamtibmas yang terjadi.
Demi maksud dan tujuan diatas, maka meningkatkan keterampilan seni para anggota punggawa ‘Singo Budoyo Mudho’ dianggap sangatlah penting. Ada waktu-waktu khusus yang sengaja disediakan bagi anggota yang berpartisipasi sebagai penari untuk melakukan latihan rutin sekali dalam seminggu. Dan untuk menghadapi sebuah acara pementasan maka ditingkatkan menjadi tiga kali dalam seminggu.
Pementasan yang sudah dilakukan selama ini hanya untuk acara internal kepolisian Tanjung Priok saja. Namun dalam perjalanan mereka akhirnya sudah dua pentas seni taraf nasional yang diikuti yakni Parade Reog Ponorogo Se-Jabodetabek 2016 di Taman Mini Indonesia Indah dan duta budaya untuk Jambore Nasional 2016 di BUPERTA Cibubur seminggu pasca penampilan di TMII.
Namun begitu, belum ada rencana untuk lebih mengembangkan pementasan sampai keluar daerah bahkan ke luar negeri. Akan tetapi jika suatu saat bisa mendapatkan kesempatan tersebut baik karena undangan khusus maupun perintah dari Mapolres Mabes Polri untuk menjadi duta budaya dalam event tertentu khususnya membawakan kesenian Tari Reog Ponorogo maka ‘Singo Budoyo Mudho’ Mapolres Metro Pelabuhan Tanjung Priok selalu siap menjalankan tugas.
“Sementara ini jalani apa adanya dulu, nikmati serta amati perkembangannya secara bertahap. Seperti layaknya siswa Akademi Polisi saja, iika sudah matang (lulus) maka panggilan tugas apapun serta dimanapun pasti akan dilaksanakan sebaik-baiknya,” tandas Kompol Rully Indra.
Demi rencana jangka panjang tersebut maka dijalin pula kerja sama dengan koreografer tari. Adalah seorang koreografer muda bernama Nyoman Semedi yang dipilih untuk memoles ‘Singo Budoyo Mudho’.
Nyoman Semedi lahir di Jakarta, dan berasal dari lingkungan seni karena kedua orangtuanya merupakan warga urban yang menetap di Jakarta sebagai penari dalam lingkungan komunitas seni Wayang Orang Bharata di bilangan Senen, Jakarta.
“Saya mulai menekuni dunia tari maupun koreografer justru saat saya masih bekerja di Dunia Fantasy Taman Impian Jaya Ancol sejak tahun 1997 hingga 2007. Di saat itulah panggilan jiwa untuk menjadi seorang pelaku seni muncul,” kenang Nyoman.
Khusus untuk kesenian Reog Ponorogo, Nyoman Semedi tidak dapat terbantahkan lagi memang sangat mengetahui seluk beluk kesenian tersebut. Dikatakan demikian karena Nyoman Semedi adalah salah satu suksesor yang tergabung dalam Tim Kesenian Reog Ponorogo Provinsi DKI Jakarta di ajang Festival Nasional Reog Ponorogo di Kota Ponorogo, Jawa Timur pada tahun 1999 dalam peran favoritnya yaitu sebagai Prajurit Warok.
Perjuangan dirinya bersama tim sendra tari Reog Ponorogo besutan Pemprov DKI Jakarta membuahkan hasil manis, yaitu selama tiga kali berturut-turut Reog Ponorogo Provinsi DKI Jakarta menjuarai ajang tingkat nasional tersebut sejak tahun 1999 sampai tahun 2002 sekaligus menempatkan DKI Jakarta sebagai barometer kesenian Reog Ponorogo secara nasional di era tersebut.
Namun karena prestasi tersebut, sesuai aturan serta kesepakatan panitia maka tim kesenian Reog Ponorogo DKI Jakarta tidak diperkenankan mengikuti event nasional yang sama untuk periode tertentu sebagai peserta. Tim DKI Jakarta hanya diperbolehkan ikut sebagai pengamat saja.
Mengenai karakter barisan prajurit dalam kesenian Reog Ponorogo, Nyoman turut menjelaskan pula bahwa Prajurit Warok itu digambarkan sebagai sosok prajurit kerajaan Bantar Angin dengan fisik kekar, tegap, dan wajah brewok (penuh kumis dan jambang). Jika ingin disetarakan dengan tentara modern, maka Warok itu adalah pasukan infanteri dengan mobilitas tinggi.
“Selain Warok ada juga Prajurit Jatil atau prajurit berkuda yang dalam legenda tersebut dilukiskan mereka merupakan kumpulan pria yang teramat sangat tampan. Oleh karena itulah maka pemeran Jatil selalu wanita demi menggambarkan ketampanan para Jatil yang tak terlukiskan,” sambungnya.
Malang melintangnya Nyoman Semedi di dunia seni tari telah membentuknya menjadi seorang koreografer muda khususnya untuk sendra tari Reog ponorogo sekaligus membawa ia saat ini berkolaborasi dengan Tim kesenian Reog Ponorogo ‘Singo Budoyo Mudho’ Polres Pelabuhan Tanjung Priok dengan tujuan membentuk mereka menjadi sebuah tim tari Reog Ponorogo yang bagus untuk sebuah pertunjukkan dalam kapasitas kedepan sebagai salah satu duta budaya nusantara ditengah masyarakat.
Disamping itu dalam keikutsertaannya sebagai koreografer sekaligus pelatih tari Reog Ponorogo ‘Singo Budoyo Mudho’, Nyoman Semedi memiliki harapan agar terus bisa ikut membangun eksistensi seni dilingkungan aparat keamanan baik itu Polri maupun TNI (jika nanti ada kesatuan TNI yang memiliki sanggar seni budaya). Khususnya dengan Reog Singo Budoyo Mudho, maka Nyoman Semedi sangat terlecut untuk bisa lebih membentuk mereka menjadi lebih baik lagi demi keinginan mereka untuk mengikuti ajang Festival Nasional Reog Ponorogo di Ponorogo, Jawa Timur pada 2017 nanti.
” Wakapolres mengatakan bahwa jalani dulu apa adanya. Akan tetapi, secara tidak sadar ini merupakan proses dan setiap proses pasti akan mengerucut kesebuah tingkat pencapaian yang diinginkan bersama. Jadi dengan keseriusan kami maka bersama-sama pula kami meyakini bahwa kami pasti bisa menjadi sesuatu sekaligus berbuat banyak bagi kelestarian seni budaya nusantara di masa mendatang,” pungkasnya.
Harapan kedepan dari Kompol Rully Indra, Nyoman Semedi, beserta seluruh punggawa ‘Singo Budoyo Mudho’ terkait pelestarian seni dan budaya Nusantara adalah, para pelaku seni sekaligus pelestari seni budaya harus melakukannya dengan kerja yang lebih keras lagi. Intinya siapapun punya kapasitas untuk melestarikan seni dan budaya Nusantara tanpa memandang profesi maupun status sosial di masyarakat.
Terobosan Polres Pelabuhan Tanjung Priok dalam peran serta pelestarian budaya khususnya Reog Ponorogo kiranya dapat melecut siapapun yang melihat, membaca, maupun mengetahuinya untuk segera menyingsingkan lengan baju kemudian terjun sebebas-bebasnya menjadi pelestari-pelestari budaya nusantara berikutnya.
“Siapa lagi yang bisa melestarikan budaya Nusantara kalau bukan orang Indonesia sendiri?” demikian pernyataan penutup Wakapolres Pelabuhan Tanjung Priok Kompol Rully Indra kepada Cendana News di Jakarta.
[Miechell Koagouw]
Lihat juga...