SABTU, 19 MARET 2016
Jurnalis : Miechell Koagouw / Editor : ME. Bijo Dirajo / Sumber Foto: Miechell Koagouw
JAKARTA TMII —- ‘Sio tetemanise, jaga beta pung mamae’ yang artinya dalam bahasa indonesia kurang lebih adalah ‘Tuhan, jagalah Ibu saya’. Demikian penggalan lirik salah satu lagu berbahasa Ambon yang begitu menggugah hati para ‘nyong’ dan ‘nona’ Maluku yang berada di tanah rantau di seluruh daerah nusantara.
Anjungan Provinsi Maluku TMII |
Hamparan ‘seribu pulau’, begitulah julukan Provinsi Maluku yang terletak di wilayah timur Indonesia dengan Kota Ambon sebagai ibukota provinsi. Daerah yang sejak dahulu dikenal penghasil utama rempah-rempah ini memiliki ratusan pulau baik besar maupun kecil. Beberapa pulau besar diantaranya adalah Pulau Seram, Pulau Buru, Pulau Yamdena dan Pulau Wetar, sedangkan pulau lain yang lebih kecil diantaranya yaitu Pulau Ambon, Banda, Kei, Aru, Saparua dan Tanimbar.
Secara administratif, kepulauan Maluku pada awalnya berada dalam satu provinsi, yakni Provinsi Maluku, namun kemudian dimekarkan satu provinsi lain menjadi menjadi Provinsi Maluku Utara. Sekarang provinsi maluku terdiri dari dua kotamadya (ambon dan tual) serta sembilan kabupaten.
Penduduk Maluku merupakan masyarakat yang heterogen, hal ini terlihat dari berbagai macam suku bangsa, bahasa dan kehidupan adat-istiadat yang berbeda-beda. Namun begitu Maluku dikenal sangat damai kehidupan antar masyarakatnya secara lintas agama dan etnis. Maluku mengenal sebuah adat pemersatu yang sampai saat ini masih dipertahankan sebagai perekat untuk menyamakan perbedaan yakni ‘Pela’ yang artinya persekutuan antara dua desa dalam ikatan persaudaraan tanpa memandang asal desa dan agama. Wujud adat ‘Pela’ ini adalah kegiatan tolong menolong saat terjadi bencana serta gotong-royong pembangunan rumah ibadah seperti Gereja, Masjid, balai desa (baileo) dan pembangunan sarana berikut prasarana masyarakat lainnya.
Anjungan Provinsi Maluku Taman Mini Indonesia Indah (TMII) menampilkan bangunan utama rumah adat Baileo (rumah Latu atau rumah kepala desa) yang aslinya merupakan tempat bermusyawarah atau pertemuan antara rakyat dengan dewan rakyat atau saniri negeri dan dewan adat. Patung Pahlawan nasional Martha Cristina Tiahahu dan Kapitan Pattimura yang bernama asli Thomas Matulessy berdiri gagah seakan menjadi benteng yang menghalau setiap ancaman perpecahan dari keragaman yang ada di Provinsi Maluku.
Replika Rumah Latu atau Rumah Raja dengan modifikasi modern di Anjungan Provinsi Maluku TMII |
Di belakang Rumah Baileo terdapat patung proses pengolaham sagu yang merupakan salah satu makanan tradisional Maluku. Bentuk asli Rumah Baileo di anjungan Provinsi Maluku TMII adalah rumah panggung tanpa dinding, dengan sembilan tiang (siwa) di bagian muka dan belakang serta masing-masing lima tiang dibagian kiri dan kanan. Adapun makna baileo yang tanpa dinding adalah agar roh nenek moyang dapat bebas keluar-masuk rumah, dan makna rumah panggung yang tinggi adalah agar arwah atau roh nenek moyang tetap bersemayam di tempat yang tinggi diatas para penduduk desa. Di bawah palang atap terdapat hiasan bulan, bintang dan matahari dengan warna merah, kuning dan hitam, melambangkan kesiapsiagaan balai adat dalam menjaga keutuhan masyarakat berdasarkan norma-norma adat dengan hukum adat sebagai instrumennya.
Rumah Baileo di anjungan Provinsi Maluku TMII difungsikan sebagai tempat pentas seni tari dan lagu cakalele, tari sapu, tari bambu gila, tari nitnabar, dan tari perang kerpopo, pameran berbagai benda budaya Maluku, antara lain kerajinan ukiran kayu amdasa-tanimbar, kain tenun khas Maluku Tenggara Barat, alat musik tiul suling bambu berukutan pohon bambu aslinya, terompet kerang, alat musik pukul bernama tifa (sejenis gendang yang memiliki kemiripan seperti tifa di papua), toto buang (sejenis gamelan), busana adat tradisional, busana pengantin Maluku Tengah (pono) dan celana Makasara bagi pria Maluku Tengah, busana pengantin Maluku Tenggara (sanikin), pakaian sehari-hari (baju cele), dan kebaya putih khas maluku bagi wanita untuk pertemuan atau acara-acara keluarga. Turut dipamerkan pula senjata tradisional seperti parang dan salawatu (perisai, tombak, dan panah dengan tempatnya yang terbuat dari pelepah sagu).
Tidak lupa kerajinan khas masyarakat maluku yang dibuat dari tanaman cengkeh berupa perahu dan benda-benda lainnya, serta hiasan-hiasan dinding dari kulit kerang laut dan mutiara yang dibentuk menjadi burung kasuari, rumah adat, cerita rakyat, kaligtafi islam, serta gambar Yesus berdoa di taman getsemani.
Maluku memiliki keragaman satwa eksotis seperti burung cendrawasih, burung kasuari, soa-soa, dan kuskus. Keindahan lautan maluku sudah tidak perlu dipertanyakan, dan hal ini menjadi daya tarik wisata tersendiri bagi provinsi tersebut. Berbagai jenis kerang dan aneka ragam tumbuhan laut seakan melengkapi diorama perahu tradisional bernama Krumbai dan Semang. Tidak lupa replika peralatan menangkap ikan serta rakit untuk peternakan mutiara di Maluku Tenggara dapat menjadi bahan dokumentasi menarik bagi pengunjung.
Di seberang Rumah Baileo terdapat rumah latu (rumah raja) berbentuk segiempat dengan dua serambi utama di depan untuk menerima tamu pria dan di tengah untuk menerima tamu wanita. Rumah latu difungsikan sebagai kantor pengelola anjungan provinsi maluku di TMII.
Obyek wisata religi Provinsi Maluku di wakili oleh Gereja Silo, Masjid Al-Fatah, dan Gereja Katedral. Sedangkan obyek wisata alam yang dapat dijadikan tujuan wisata di Maluku adalah :
1. Kolam Waiselaka sekitar 28 kilometer dari kota ambon yang merupakan habitat hewan belut khas maluku yang disebut warga sekitar dengan ‘hewan keberuntungan’.
2. Danau Rana yang dipercaya memiliki kandungan kekuatan supranatural besar oleh penduduk setempat.
3. Air panas Tulehu
4. Danau Namniwel
5. Pintu kota yang terbuat alami dari karang
6. Wisata fauna ke habitat burung cendrawasih dan kakatua khas maluku
7. Pantai Jiku Besar di Pulau Buru
8. Pantai Natsepa yang berpasir putih
9. Pantai Pulau Pombo, Kisar, Hanimua, Pulau Raja, Latuhalat, Sawai, Pantai Ora Pulau Seram, pantai Ngur Sarnadan kota Tual yang berpasir lembut bagai tepung dan menyilaukan mata di siang hari.
Disarankan bagi pengunjung yang menikmati wisata pantai untuk mencoba kuliner khas maluku dengan menu Papeda (tepung kanji kental sebagai ganti nasi) dengan lauk pauk ikan kuah air garam, ikan bakar dabu-dabu, sayur acar kuning, sambal pepaya, ditambah minuman sagure dingin.
Selesai wisata alam sambil menikmati kuliner khas, maka lanjutkan dengan perjalanan wisata sejarah dan budaya yang menjadi daya tarik tersendiri karena memiliki nilai sejarah tinggi, yakni :
1. Benteng Amsterdam yang dibangun bangsa Portugis tahun 1512 di dekat desa Hila dan Kaitetu
2. Benteng Belgica di Pulau Banda Neira yang dibangun Belanda tahun 1611 dan Benteng Duurstede di Saparua
3. Rumah pengasingan Mantan Wakil Presiden Rwpublik Indonesia Pertama yakni Mohammad Hatta di Pulau Banda
4. Commonwealth War Cemetery, lokasi pemakaman lebih dari 2000 orang tentara sekutu berkebangsaan Australia, Belanda, Inggris, dan India di daerah Tantui, Ambon
5. Monumen Pattimura di tengah kota Ambon dimana titik tersebut adalah tempat asli saat Pattimura beserta pengikutnya di eksekusi hukuman gantung
6. Monumen Martha Cristina Tiahahu di daerah Karang Panjang, seorang pejuang wanita asal Maluku yang melakukan protes terhadap kedegilan Pemerintah Belanda dengan melakukan aksi mogok makan hingga tewas
7. Perahu Batu Fampompar dengan panjang 18 meter, lebar 9,8 meter, terletak di desa Sangliat Dol yang merupakan situs budaya zaman Megalitikum (abad ke-14) dimana pada zaman tersebut perahu batu dipergunakan para tetua adat desa untuk melakukan pertemuan
8. Perahu Batu Natar Sori desa Arui Bab yang juga merupakan peninggalan zaman megalitikum karena ukiran-ukiran di badan perahu batu diperkirakan dibuat tahun 1400. Penduduk setempat menamakan perahu batu ini ‘Uluntutul’ yang artinya ‘dengan perahu yang ditumpangi’
Kerajinan tangan khas maluku yaitu Hiasan dinding dari kerang laut |
Meninggalkan anjungan Provinsi Maluku dengan menuliskan nama di daftar buku tamu bukanlah akhir dari segalanya, karena apa yang didapatkan pengunjung di dalam anjungan belumlah lengkap tanpa meluangkan waktu libur untuk mengunjungi langsung ‘bumi pattimura’.