![]() |
Josep selaku pembantu Sope (kanan) sedang menampung darah ayam di kedua tangannya disaksikan Wilhelmus Wolor selaku Sope (kiri) |
“Barang yang sudah dirusaki harus dibuat adat supaya mereka tidak dendam dengan kita,” ucap Wolor.
Dikatakan Wolor, Maria Dua Lodan dan suaminya sering ribut dalam keluarga dan beberapa barang perlengkapan rumah tangga sering jadi korban. Untuk itu harus dibuat ritual adat apalagi kondisi Maria sedang berbadan dua. Jika tidak segera dibuat ritual adat maka ditakutkan Maria akan kesulitan dalam melahirkan.
“Lebih cepat dibuat adat akan lebih baik sebagi permintaan maaf agar keluarga tersebut tidak mendapat malapetaka,” tutur Wolor.
Perlengkapan ritual adat pun disiapkan. Korak (tempurung kelapa) dipotong menjadi dua bagian hingga terdapat lima potong. Telur ayam lima butir, sedikit beras dan kertas berwana coklat (kertas kantong semen) disiapkan dan diletakan di dalam Korak.
![]() |
Josep (kanan) yang bertugas sebagai pembantu Sope sedang menyiapkan sesajen dipandu Wilhemus Wolor selaku pembuat ritual adat (sope) |
Sepotong kayu bakar panjang sejengkal dan alat pengipas api dari pangkal daun pinang diletakan di dalam Soka (anyaman dari daun Enau) berbentuk bulat. Pemilik rumah, Maria duduk diatas bale-bale di ruang tidur dimana di depannya diletakan semua perlengkapan ritual.
“Kayu dan kipas api merupakan alat untuk memasak makanan. Ini melambangkan agar api di tungku tetap menyala yang jika diartikan kita berharap agar selalu ada rejeki,” papar Wolor.
Bila api di tungku dapur tidak menyala maka keluarga tersebut tidak memiliki bahan makanan untuk dimasak. Ritual ini juga kata Wolor meminta maaf sekaligus berharap agar Nian Tana Lera Wulan (sang pencipta angit dan bumi) bisa memberikan rejeki yang cukup dan melindungi keluarga yang menyelenggarakan ritual adat.
Memberi Makan
Sope dan pembantu Sope meletakan dua buah telur ayam,beras dan kertas coklat ke dalam Korak. Dua buah Korak di bawah ke depan pintu rumah dekat pagar halaman rumah Maria. Dua buah batu kali berbentuk ceper disiapkan di sana.Telur ayam dipecahkan dan disiram ke atas dua buah batu tersebut.
![]() |
Maria Dua Lodan pemilik rumah sekaligus orang yang meminta dibuatkan ritual adat bersama perlengkapan ritual. |
Beras dan sobekan kertas cokelat pun diletakan di sana. Sisa isi telur ayam dan beras diletakan di dalam Korak atau tempurung kelapa. Setelah membaca mantra, Sope dan pembantunya pun kembali ke dalam rumah.
“Kita memberi makan kepada Tana Wulan (Bumi dan Langit) serta Guna Dewa (arwah penjaga kampung ) agar mereka juga merestui ritual adat yang kita lakukan dan melindungi kita,”ungkap Wolor selaku Sope.
Sebuah tempurung kelapa dengan sesajen yang sama diletakan di pintu rumah diperuntukan bagi jiwa yang berdiam di dalam benda yang dirusakan sebagai permohonan maaf dan meminta perlindungan. Sesajen ini diletakan disamping serpihan barang-barang yang diletakan persis di samoing pintu rumah.
Dua buah tempurung kelapa berisi sesajen lainnya tutur Wolor dipersembahkan bagi arwah leluhur, nenek moyang dan sanak keluarga yang telah meninggal. Setiap ritual adat sebut Wolor,persembahan diberikan bagi semua unsur tersebut.
Sesudahnya Sope mengiris sirih pinang dan meletakannya di tempurung kelapa. Sope membaca mantra dan meletakan potongan sirih pinang yang ditaburi kapur sirih diatasnya dan meletakannya di bale-bale. Sirih pinang ini diperuntukan bagi arwah leluhur. Potongan sisih pinang lainnya diletakan dalam Teli Wua, tempat sirih pinang dan dibagikan kepada keluarga.
Maria mendapat dua potong sirih pinang untuk dirinya dan anak di dalam rahimnya,suaminya mendapaat tiga potong,dirinya dan kedua orang tua yang tidak hadir, Sope, pembantu Sope, isteri Sope dan ibu dari Maria masing-masing mendapat sepotong sirih pinang.
“Sirih pinang yang dimakan sebagai tanda pedamaian atau persahabatan diantara anggota keluarga dimana sebelum dibagikan siirih pinang di dalam Teli Wua dijamah semua orang tersebut sebelum dibagikan dan dimakan,”papar Wolor.
Sesudahnya seekor ayam jantan diambil dan oleh pembantu Sope mulut dari ayam tersebut diiris memakai pisau hingga berdarah. Darahnya ditampung di tangan dan dioleskan ke tangan, kaki, dahi serta seluruh anggota tubuh Maria. Darah ayam ini juga dioleskan pada dinding rumah. Josep pembantu Sope mengatakan darah ayam ini berfungsi sebagai pelindung, memberi kekuatan sebab etnis Tana Ai memaknaai ayam sebagai jago dunia. Dulunya sebut Josep sebelum ada jam, menentukan waktu dan suatu kejadian ditandai setiap kali ayam berkokok.
“Nenek moyang kami membaca tanda alam dan jam setelah mendengar ayam berkokok dan mengartikannya. Bila ayam berkokok tidak seperti biasa di luar penanda waktu maka akan ada sebuah kejadian di kampung,”papar Josep.
Daging ayam dan hati serta kaki dan kepala ayam yang sudah dimasak diletakan kembali ke dalam tempurung kelapa untuk kembali memberikan sesajen kepada Nian Tana lera Wulan, Guna Dewa serta kepada leluhur dan arwah anggota keluarga yang sudah meninggal. Usai ritual adat, ayam yang dimasak kemudian dihidangkan dan dimakan seluruh anggota keluarga dan kerabat yang hadir dalam ritual tersebut.
“Selama ritual adat digelar,tidak boleh ada seorang pun yang bersin atau kentut. Ini pantangan yang tidak boleh dilanggar,”pungkas Wolor mengakhiri perbincangan.