Petani Salak di Sleman “Angkat Tangan” Hadapi MEA

SENIN, 11 JANUARI 2016
Jurnalis: Koko Triarko / Editor: Gani Khair / Sumber foto: Koko Triarko

YOGYAKARTA — Meski berbagai teknologi pertanian marak dikembangkan, namun persoalan air irigasi di kawasan lahan minim sumber air masih saja belum teratasi. Bahkan, kelangkaan air membuat petani salak di Pakem, Sleman, DI. Yogyakarta angkat tangan menghadapi MEA.

Haryanto
Sejak musim kemarau panjang tahun kemarin, saat ini petani buah salak di desa Purwobinangun, Pakem, Sleman, belum bisa beranjak dari keterpurukannya. Musim hujan yang selama ini digadang-gadang kedatangannya, ternyata juga masih langka. Sedangkan para petani salak di wilayah itu mengaku tak memiliki sumber air, sehingga hanya bisa pasrah mengharap hujan yang melimpah. 
Ketua Kelompok Tani Ngudhi Makmur, Dusun Beneran, Purwobinangun, Pakem, Sleman, Haryanto (58), ditemui Senin (11/1/2016), mengatakan, lahan sawah di dusunnya merupakan lahan sawah tadah hujan. Dan, selama ini belum ada upaya untuk mengatasi minimnya sumber air itu. Alhasil, para petani hanya bisa menerima nasib disaat curah hujan di musim penghujan kali ini ternyata intensitasnya sangat rendah. Bahkan, cenderung langka.
Haryanto yang mengandalkan penghasilan dari kebun salaknya seluas 2000 meter persegi, pun terpaksa harus merombak sebagian pohon salaknya untuk diganti dengan komoditas lombok atau cabe. Namun, usaha itu ternyata juga tidak banyak membantu. Pasalnya, akibat minimnya curah hujan, tanaman cabenya terserang hama kuning.

Dinas Pertanian Sleman, menurut Haryanto, sudah tidak kurang memberikan pendampingan. Termasuk pemahaman tentang pasar bebas MEA. Namun, pihaknya mengaku tidak bisa berbuat apa-apa, karena masalahnya bukan pada teknik perawatan dan bercocok-tanam, melainkan karena minimnya sumber air. 
Dikatakan Haryanto, solusi untuk membuat sumur di lahan sawah juga tidak mudah. Sebab, tanah di dusunnya di bagian bawahnya didominasi oleh batuan cadas sehingga sangat sulit dibuat sumur. Sedangkan, untuk membuat sumur bor, lanjutnya, juga tidak akan menjamin ketersediaan air. Selain karena sumur bor membutuhkan biaya besar, sumur bor tersebut juga harus dibuat di dekat sumber air. Sedangkan di dusunnya tidak ada sumber air. Hal itu, kata Haryanto, diperparah dengan kondisi sungai di lereng Gunung Merapi yang mengalami penyusutan sumber air akibat aktifitas penggalian pasir.
Dengan kondisi tersebut, Haryanto angkat tangan jika harus memenuhi tuntutan pasar bebas. Peningkatan kualitas salak tidak mungkin bisa dilakukan tanpa sumber air yang cukup. Karenanya, Haryanto dengan anggota kelompok taninya sebanyak 44 orang, hanya bisa bertahan dengan hasil panen salak yang tidak maksimal. 
“Buah salak membutuhkan lahan yang lembab dan asupan air yang banyak. Kalau hujannya minim, selain berbuah kecil-kecil juga justru membuat buah salak banyak yang busuk”, ungkapnya.
Senada dengan itu, Arum Tiana (34), pedagang buah salak di dusun Cepet, Purwobinangun, Pakem, Sleman, mengeluhkan berkurangnya pasokan buah salak dari petani. Hal itu membuatnya tak bisa memenuhi permintaan pelanggannya. Pada musim panen bagus, kata Arum, ia bisa mengirim salak ke Jawa Timur sebanyak 10 Ton sehari, dengan nilai rupiah sekitar 30 Juta. Namun kondisi panen yang minim, ia hanya mampu mengirim buah salak sebanyak 1-2 Ton saja perharinya.
Menurunnya produktifitas salak di wilayah Pakem, menurut Arum, selain disebabkan musim kemarau panjang tahun kemarin juga karena saat ini buah salak juga sudah memasuki masa akhir panen. Sementara itu berkait pasar bebas MEA, Arum mengaku tidak ikut-ikutan. 
“Saya bingung mengurus persyaratannya dan buah lokal di sini belum banyak yang memenuhi syarat MEA”, pungkasnya. 
Lihat juga...