![]() |
Mengambil Nira Kelapa |
CENDANANEWS(Lampung) – Pohon pohon kelapa hibrida dan kelapa dalam setinggi 8 meter hingga 10 meter berjajar di antara pohon pohon kelapa sawit. Pohon kelapa tersebut rata rata memiliki tangga tunggal terbuat dari bambu yang digunakan untuk memanjat.
Hari masih pagi saat Senen (35) menyiapakan peralatan untuk mengambil pongkor yang sudah disiapkan sehari sebelumnya pada sore hari. Meski masih pagi namun panas sudah cukup menyengat dan Senen menapakkan kaki beralaskan sepatu karet miliknya di tangga bambu hingga sampai ke ujung pohon kelapa tempat manggar yang dipasangi dengan pongkor yang terbuat dari derigen.
Ia membawa sebuah pongkor yang terbuat dari derigen yang diikat dengan tali dan dililitkan di pinggangnya. Hanya kurang dari lima menit, ia sudah sampai di pohon kelapa yang tingginya sekitar 8 meter. Pongkor yang telah diletakkan sejak sore lalu kemudian dibawa ke bawah, sementara satu derigen yang dibawanya menggantikan derigen yang sudah terisi air nira.
Hanya dalam waktu kurang dari 10 menit, pekerjaannya selesai. Kemudian ia membawanya ke bawah. Pekerjaan itu dilakukan ke pohon-pohon kelapa lainnya. Kalau sudah selesai semuanya, dia membawa pongkor-pongkor yang telah terisi nira ke rumahnya.
Lokasi kebun kelapa dengan rumah milik Senen tidaklah jauh, hanya berjarak sekitar 20 meter. Meskipun kebun tersebut tidak jauh dari rumah bahkan di depan rumah tapi kebun seluas dua hektar yang ditanami pohon kelapa hibrida, kelapa dalam serta pohon kelapa sawit tersebut bukan miliknya. Senen mengaku kebun tersebut milik seseorang di Kalianda yang boleh digarap untuk ditanami jagung dengan sistem bagi hasil demikian juga untuk pembuatan gula dilakukan dengan sistem bagi hasil.
“Istilahnya kami ini menumpang di kebun orang, boleh ditanami dengan tanaman jagung atau tanaman sayuran tapi hasilnya kami bagi dengan pemilik lahan, pemilik lahan sekaligus meminta kami menjaga lahan miliknya,” ujar Senen kepada media ini, Selasa (28/4/2015).


Senen yang hingga kini masih melajang dan tinggal bersama ibu dan sang kakak di Umbul Dana, sebuah kawasan perkebunan di Kecamatan Ketapang Lampung Selatan yang membantu proses pembuatan gula kelapa. Setelah beberapa dirigen diambil dari pohon kelapa, dirigen tersebut dibawa ke lokasi pengolahan yang masih mempergunakan peralatan tradisional.
Sang kakak, Rusmini(39) telah siap dengan tempat masak air nira berupa wajan besar. Ia mengambil daun kelapa kering serta kayu bakar yang diletakkan di tumpukan kayu yang ada di bawah atap ruangan khusus terbuat dari kayu kayu serta beratapkan daun rumbia.
Rusmini pun mulai menyalakan api setelah sebelumnya sang adik menuangkan derigen yang berisi nira tersebut. Air nira dimasukkan ke dalam wajan besar dan dipanaskan dalam berjam-jam untuk mendapatkan air gula kelapa yang kemudian dimasukkan ke dalam cetakan gula kelapa atau gula Jawa.
Begitulah yang dilakukan oleh Rusmini dan sang kakak selama hampir 5 tahun ini. Sebuah pekerjaan yang tidak pernah ia tinggalkan karena memang tidak punya pilihan lainnya.
“Kami tidak memiliki lahan pertanian, yang ada hanya yang kami tinggali ini dan kebun kelapa yang kami ambil niranya ini miliki orang lain,” ujar Rusmini yang mengaku sang suami sedang bekerja di ladang milik orang lain untuk menebang pohon jagung.
Sementara Senen mengaku telah memanjat kelapa untuk mengambil nira yang akan dijadikan gula kelapa. Setiap hari Senen harus naik pohon kelapa sampai 20 pohon. Pada pagi hari 10 pohon dan sore harinya 10 pohon.
Aktifitas yang dilakukan Senen setiap hari tidaklah mudah bahkan beresiko tinggi. Setiap hari ia harus naik pohon kepala dengan ketinggian 10-15 meter. Risikonya sangat tinggi, kalau terjatuh, hanya dua dampaknya. Meninggal atau luka berat sehingga tidak bisa apa-apa selama hidupnya. Sebuah cerita turun temurun yang membuat merinding dan bagi para pobia ketinggian.
Namun, cerita ngeri itu tidak membuat ciut nyali para penderes. Tuntutan ekonomi keluarga, membuat mereka tetap menekuni pekerjaannya. Sama seperti halnya Senen dan sang kakak.
Padahal proses pembuatan gula kelapa yang dilakukannya tidak setiap hari dilakukan sebab pada saat musim panas justru produksi air nira menurun berbeda dengan musim hujan .Untuk beberapa hari paling-paling hanya mampu membuat gula kelapa sekitar 15 kilogram (kg) dan dijual kepada juragan gula Rp6.000 per kg.
“Itu bukan pendapatan bersih, karena masih harus dipotong dengan ongkos pembelian kayu bakar Rp10 ribu tiap harinya. Apalagi kalau nanti masih utang kepada juragan gula, hasilnya bisa lebih kecil lagi,”ujar Rusmini.
Air nira yang dituangkan dalam wajan dan dimasak akan mulai mengental setelah selama skitar 3 jam lebih dimasak menggunakan kayu bakar dengan tungku terbuat dari tanah liat. Setelah masak air nira yang mengental berbentuk jenang tersebut akan dituangkan dalam cetakan cetakan terbuat dari potongan bambu.


Menurut Senen, gula kelapa buatan sang kakak selanjutnya akan dijual ke warung warung yang ada di Kecamatan Ketapang. Hasil penjualan gula tersebut akan dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari hari dan juga dibagi dengan sang pemilik kebun.
Senen mengaku masih terus akan menderes sambil bekerja menjadi buruh upahan saat musim panen jagung seperti sekarang. Sebab aktifitas menderes juga tergantung pada musim, jika musim panas kualitas serta kadar air nira di pohon kelapa akan berkurang. Namun saat itu bisa menjadi waktu untuk bekerja sebagai pembabat jagung yang diupah harian.
Senen dan Rusmini mengaku bersyukur diberi tumpangan lahan milik orang lain sehingga masih bisa menyambung hidup dengan mengolah gula kelapa.