Gula Merah Hidupi Keluarga Perantau Ini

Muhammad Subandi si Pembuat Gula Merah [Foto:CND]
CENDANANEWS (Keerom) – Merantau ke negeri orang jauh di Tanah Papua demi kelanjutan hidup keluarga, terus ditekuni dengan cara membuat gula merah yang dijual keliling, inilah kisah salah satu dari ribuan perantau yang ada di Kabupaten Keerom, Papua. 
Muhammad Subandi yang berusia 50 tahun ini tetap komit dengan apa yang ia pelajari di Jawa Timur dan membawanya ke tanah negeri paling timur di Indonesia ini, khususnya di Arso IV, Distrik Skanto, Kabupaten Keerom, Papua.
Ia yang bertransmigrasi ke Keerom, pada tahun 2004 silam awalnya hanya menumpang dirumah-rumah warga. Kehidupannya ditopang dengan membuat gula yang bahan utamanya air nira atau saguer dari setiap pohon kelapa yang di kontraknya Rp 10.000 setiap pohonnya.
“Harga kontrak pohon kelapa mulai dari tahun 2004 sampai sekarang tidak berubah, tetap Rp 10.000 tiap pohonnya, cara pembayarannya, saya bayar setiap bulannya Rp 250.000 untuk 25 pohon kelapa, tapi sekarang saya hanya gunakan 10 pohon kelapa,” kata Subandi, Jumat (03/04/2015).
Bersama istrinya, Siti Mariam yang kini menginjak usia 40 tahun itu memproduksi gula merah untuk memenuhi kebutuhan para warga sekitar. Tidak hanya sampai disitu, sang istri pun harus berkeliling ke setiap kampung-kampung, bahkan tak tanggung-tanggung, sampai dua distrik di Kabupaten Keerom yakni Distrik Arso dan Distrik Skanto.
“Harga saat itu Rp 2.500 per kilo, mulai naik sekitar tahun 2006, harga Rp 3.500 – 5.000 per kilo. Alhamdulillah dari hasil jualan gula merah, kami dapat membeli tanah seluas 25 x 100 meter yang telah di dirikan rumah transmigran, kami beli tahun 2006,” ujarnya.
Perlahan sepasang suami istri ini mulai merenovasi rumah yang mereka beli. Tidak sampai disitu, ia bersama sang istri terus memutar duit hasil jerih payah mereka demi menyekolahkan anak pertamanya bernama Husnul Khotimah Nurjanah (23 tahun) ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
“Alhamdulillah, anak saya sudah selesai wisuda di Universitas Cenderawasih (Uncen) Jayapura jurusan keperawatan. Semuanya ini hasil dari gula merah,” ungkap sang pemanjat pohon kelapa tiap pagi dan sore ini.
Menurutnya, sebagai pemanjat pohon kelapa tiap pagi dan sore hari, banyak rintangan yang selalu dihadapi mulai dari sengatan lebah. “Paling setengah mati kalau hujan deras dan angin kencang, tapi mau bagaimana lagi, semua itu harus saya hadapi. Kalau saya tidak lakukan, berarti saya tidak bisa produksi gula merah, sudah pasti kami tidak aka nada pemasukan uang,” ujarnya.
Sudah lebih dari 10 tahun dirinya bersama keluarga hidup di tanah rantau, namun tak kunjung ada perhatian dari Pemerintah Daerah (Pemda) Keerom. “Kami tidak banyak berharap kepada mereka, walaupun jika ada bantuan sudah tentu kami akan syukuri. Tapi sampai sekarang tidak ada, tetap kami harus jalani hidup ini,” keluhnya.
Harga gula merah buatannya ini mulai naik pesat di tahun 2015 dengan harga enceran Rp 18.000 – 20.000, sedangkan harga borongan Rp 17.000. Tak jarang sang istri menjualnya ke Kota Jayapura, tepatnya di pasar Youtefa.
“Mulai tahun ini istri saya menjual ke pasar Youtefa. Tetapi hasil produksi gula merah tidak seperti lima sampai sepuluh tahun lalu, setiap harinya pasti menghasilkan 15 kilo gula merah dari 25 sampai 30 pohon kelapa, tahun ini mulai berkurang hingga 8 kilo tiap hari dari 10 pohon kelapa, juga karena saya sering sakit,” katanya.
Produksi gula merah yang mulai pukul 17.00 Wit hingga pukul 19.00 Wit. Dikatakan, Subandi, produksi lima tahun lalu sehari dua kali. “Sekarang pagi dan sore ambil air niranya, besok paginya baru dibuat gula merahnya, sekali sehari,” bebernya.
Selain gula merah, mereka juga memanfaatkan pekarangan belakang kurang lebih 25 x 50 meter dijadikan kebun dengan menanam singkong, jagung dan jambu. “Itu saya juga sambilan dari gula merah, tapi saya tetap focus buat gula merah. Karena gula merah itulah saya bisa seperti ini, anak saya bisa makan, bisa sekolah saja saya sudah sangat senang,” ujarnya.
Ia berharap, anak pertama yang sudah merantau menjadi perawat di Kabupaten Mamberamo Raya dan anak kedua Muhammad Doni Firmansyah (12) yang masih duduk di bangku sekolah Madrasah Al-Ashar tidak mengikuti jejak dari ia bersama istrinya. “Saya ingin anak saya jadi orang, jangan seperti saya, buat gula merah itu sengsara betul,” tutupnya.

———————————————————-
Jumat, 3 April 2015
Jurnalis : Indrayadi T Hatta
Editor   : ME. Bijo Dirajo
———————————————————-

Lihat juga...