Misdi, Pengusaha Tahu Tradisional Otodidak

Tahu Olahan Tangan Misdi [Foto : Cendananews – Hendricus Widiantoro/3/15]
CENDANANEWS– Siapa tak kenal Tahu, makanan berbahan dasar kedelai tersebut. Makanan tradisional yang murah meriah tapi bergizi dengan protein nabati dari tanaman kacang polong polongan jenis kedelai. Kedelai selain menjadi bahan baku tempe, di tangan dingin Misdi (40) kedelai diolah menjadi tahu yang menjadi makanan lauk pauk bagi masyarakat berbagai kalangan tersebut.
Saat mengunjungi usaha rumahan milik Misdi di Desa Pasuruan Kecamatan Penengahan Kabupaten Lampung Selatan Provinsi Lampung, Cendananews.com berkesempatan untuk melihat dari awal proses demi proses produksi tahu yang ditekuni laki laki berputra dua orang tersebut. 
Misdi mengaku ia menekuni usaha pembuatan tahu jenis tahu putih atau yang dikenal dengan tahu polos sejak ia masih bujang sekitar tahun 1970. Kala itu dirinya mengaku membantu kedua orangtuanya yang juga seorang pengusaha tahu. Berawal dari membantu orangtua tersebut setelah berkeluarga Misdi akhirnya mantap untuk membuat usaha serupa yang ditekuni kedua orangtuanya.
“Saya keahliannya membuat tahu karena otodidak dengan membantu kedua orangtua akhirnya tahu proses demi proses termasuk perhitungan untuk permodalan dan pemasarannya,” ungkap Misdi sambil mengaduk bahan dasar tahu yang sudah digiling dan dimasak.
Misdi mengaku proses pembuatan tahu miliknya dibuat secara tradisional dan tidak menggunakan bahan pengawet. Proses yang dibuatnya pun terbilang sederhana dari mulai bahan dasar kedelai disiapkan hingga proses pencetakan.
Misdi bahkan berkenan menjelaskan satu demi satu proses yang dilalui dari kedelai mentah hingga berubah menjadi tahu.
Pertama tama bahan dasar kedelai yang disiapkan sekitar 10 kilogram dicuci bersih dengan air mengalir. Memiliki rumah di kaki Gunung Rajabasa membuat Misdi tidak kesulitan mendapatkan air bersih bahkan dengan selang air ia bisa memperoleh air bersih langsung dari mata air yang tak pernah berhenti. Setelah dicuci bersih proses penggilingan pun dilakukan secara manual.
“Saya menggunakan alat berupa batu penggiling, semua dilakukan secara tradisional dan menggunanakan tenaga manusia biar lebih terjaga keasliannya,” ungkap Misdi.
batu penggiling
Dibantu oleh sang istri yang setia membantu pekerjaanya, Sutinah (39) setelah penggilingan tahap selanjutnya bahan yang sudah dimasukkan dalam bak bak penampung siap dipindahkan ke alat pemasak. Karena keterbatasan modal dan masih menggunakan sistem tradisional, Misdi menggunakan drum untuk memasak kedelai yang telah digiling.
Butuh waktu sekitar 30 menit untuk menggiling kedelai yang sudah dicuci, direndam agar hancur lalu dimasak di atas tungku sekitar 60 menit lamanya. Misdi masih menggunakan kayu bakar untuk proses pematangan bahan baku tahu tersebut sehingga ia harus rajin menambah kayu bakar yang digunakan untuk memasak kedelai yang sduah menjadi bubur tersebut.
Sang istri sudah menyiapkan ember ember penampungan untuk proses selanjutnya yakni “melaru” atau memeras dan mendiamkan hasil pemasakan yang sudah berubah menjadi bubur tersebut. Setelah 60 menit berlalu, proses pemerasan untuk memisahkan sari sari kedelai pun dilanjutkan.
Sembali memeras, Misdi pun menunjukkan bahan tahu yang sebelumnya sudah dicetak. Sebelum Cendananews datang rupanya sebanyak satu cetakan tahu telah dibuat oleh Misdi. Untuk satu cetakan Misdi mengaku bisa membuat sekitar 200 ptong tahu dengan ukuran sekitar 3-4 cm tahu putih yang dipotong manual dengan penggaris dari kayu.
Proses memeras pun dilanjutkan Misdi menjelaskan, dari sari sari kedelai yang baru panas tersebut biasanya dapat dijadikan bahan pembuatan susu kedelai. Sari sari kedelai berwarna putih bersih tersebut ditampung dalam ember ember putih yang berwujud kental seperti susu.
Setelah disaring ampas tahu tersebut ditampung ke dalam karung untuk diambil oleh para pemilik ternak sebagai bahan makanan ternak. Sementara sari sari tahu masuk ke proses pencetakan.
Pencetakan yang dilakukan oleh Misdi pun terbilang sederhana dan tradisional, tak menggunakan alat press mesin tetapi menggunakan beberapa potong kayu dan batu khusus. Setelah didiamkan dalam alat press tersebut proses pencetakan seperti sebelumnya pun dilakukan.
“Setelah dipotong kecil kecil, tahu sebagian ada yang digoreng sebab konsumen ada yang menyukai tahu matang yang sudah digoreng. Sementara tahu yang lain masih tetap polos putih tidak kuning seperti yang digoreng,” ungkap Sutinah sang istri.
Proses menggoreng dan membuat tahu menjadi berwarna kuning pun dilakukan dengan cara tradisional menggunakan pewarna dari kunyit. Misdi mengaku tak pernah menggunakan bahan bahan pengawet sebab tahu miliknya selalu habis hari itu juga saat diedarkan.
Proses pembuatan tahu pun selesai, ratusan bungkus tahu sudah dikemas dalam bungkus bungkus plastik untuk dijual. Setelah setengah hari memproduksi tahu, Misdi dan Sutinah beristirahat sejenak sebelum menjajakan tahu yang mereka buat. Misdi dan Sutinah mengaku mendistribusikan tahu tahu miliknya ke beberapa warung di Desa Pasuruan dan juga ke rumah rumah warga dengan menggunakan kendaraan roda dua.
“Alhamdulilah selalu habis dan usah aini akan terus berjalan dengan bantuan anak anak saya yang akan meneruskan usaha rumahan ini,” ujar Misdi.
Meskipun ia mengakui proses pembuatan tahu yang saat ini mulai bergeser ke cara modern dengan alat namun Misdi mengaku tetap menggunakan cara tradisional. Selain karena keterbatasan modal ia tetap ingin menjaga kualitas rasa tahu buatannya.
Misdi mengaku dalam sebulan ia bisa memproduksi puluhan ribu potong tahu dan menghabiskan kedelai yang selalu menggunakan tahu impor sekitar 5 hingga 6 kuintal per bulan. Kedelai sebanyak itu dirasa kurang dengan banyaknya permintaan namun karena keterbatasan modal dan juga karyawan Misdi tetap bersyukur masih bisa memproduksi tahu yang sudah dikenal oleh masyarakat di desanya.
Tak mengeherankan sebutan “Misdi Tahu” sudah melekat di namanya. Tahu tradisional buatannya yang dijajakan dengan door to door pun masih tetap diminati oleh warga desa. Tahu yang dijajakan dengan dibungkus dijual dengan harga Rp5.000,- untuk 20 potongnya.
Peminat tahu miliknya selain penjual gorengan tahu bunting, para ibu rumah tangga pun membeli tahu miliknya untuk lauk pauk. Keterbatasan dan cara pembuatan dengan mempertahankan cara tradisional tidak lantas membuatnya berhenti dan terus berusaha membuat tahu setiap hari.
———————————————————- 
Kamis, 12 Maret 2015
Jurnalis : Henk Widi
Editor   : ME. Bijo Dirajo
———————————————————-
Lihat juga...