
KULON PROGO – Kumuh dan kotor, kesan yang tertangkap saat CND datang ke Stasiun Kedundang pada Selasar (23/6/15). Satu dari Tiga Stasiun jaman dulu yang masih relatif keliahatan berdiri, terletak di tepi rel ganda yang membentang di jalur Sentolo – Kutuarjo. Masuk wilayah Desa Kedundang, Kecamatan Temon,Kabupaten Kulon Progo, DIY sekitar 40an km barat Kota Yogyakarta.
Tembok semen itu sedikit demi sedikit rontok digerogoti usia. Kayu dan genting atap pun berguguran, seolah tidak kuat menahan perubahan zaman. Hanya tulisan besar warna biru “Kedundang” yang bertahan dan membuat bangunan itu dikenang sebagai stasiun tua.
Tidak hanya kondisi bangunan yang mengenaskan, lingkungan di sekitarnya pun seolah luput dari perhatian. Stasiun seluas kira-kira 40 meter persegi itu tak berfungsi. Alasannya, tidak ada lagi kereta yang berhenti di sana.
Bekas Stasiun Kedundang ini yang kondisinya seperti ini. Masih dianggap relatif baik dari pada Stasiun Kalimenur dan Stasiun Pakualaman di Siluwok, Desa Tawangsari, Kecamatan Pengasih
Untuk Stasiun Pakualaman tinggal puing puing saja hancur. Dan tidak dibangun kembali oleh PNKA (Perusahaan Negara Kereta Api). Saat itu Stasiun Kalimenur dan stasiun Pakualaman menjadi sasaran pengeboman dalam Agresi Militer II.
Sebelumnya, stasiun ini selalu ramai. Setiap hari, kereta uap jurusan Yogyakarta-Kutoarjo dan sebaliknya selalu singgah di Kedundang-pakualaman – wates – Kalimenur dan terus sampai ke Yogya dan Solo.
“Masyarakat menyebut kereta itu sepur bumel atau sepur grenjeng,” ujar seorang penjaga perlintasan.
Sepur bumel atau kereta uap ekonomi hanyalah secuil nostalgia dari Beberapa stasiun. Stasiun Kalimenur diperkirakan dibangun antara 1876-1888, atau bersamaan dengan pembangunan rel lintas selatan Cilacap-Surabaya oleh Pemerintah Kolonial Belanda.
Hingga masa perang kemerdekaan, stasiun ini merupakan salah satu pusat pemberangkatan penumpang utama di Kulon Progo, selain Stasiun Wates, Sentolo, Pakualaman, dan Kedundang. Modal angkutan darat lain, seperti bus dan truk, kala itu masih langka.
Khusus untuk stasiun kalimenur, dulu juga kondang dengan sebutan stasiun tahu. Sebab, mayoritas penumpang sepur adalah para perajin tahu dari Tuksono, Sentolo, yang hendak berjualan ke Yogyakarta atau Purworejo.
Bahkan, tahu juga dijajakan di sekitar stasiun, baik dalam bentuk mentah atau digoreng matang. Selain pedagang tahu, stasiun juga dipadati pedagang sayur, ternak, dan beras. Pelajar-pelajar Kulon Progo juga memanfaatkan kereta untuk pergi sekolah ke Yogyakarta.
Namun, tragedi memilukan justru menimpa Stasiun Kalimenur di puncak kejayaannya. Akhir 1948, ketika stasiun ramai penumpang, tentara Belanda menghujaninya dengan bom. Kerusakan paling parah justru terjadi di rumah dinas wakil kepala stasiun yang rata dengan tanah. Hanya rumah kepala stasiun dan stasiun masih bisa diselamatkan.
Beberapa tahun kemudian, PT Kereta Api, saat dulu masih bernama Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) merestorasi stasiun Kalimenur Sekitar 1954, fungsi stasiun diturunkan menjadi stoplat (stasiun mini) yang merupakan lokasi pemberhentian sementara kereta, dan tidak lagi melayani penjualan tiket penumpang.
Aktivitas di sekitar stasiun ikut lumpuh
Kala itu, kondisi jalur Kutoarjo-Solo baru didukung satu rel, sehingga harus ada kereta yang mengalah apabila berpapasan dengan kereta lain. Stasiun Kalimenur akhirnya berhenti beroperasi tahun 1974. Kondisi stasiun di daerah tikungan rel membuatnya tak layak lagi menjadi tempat pemberhentian kereta berkecepatan tinggi, di atas 80 kilometer per jam.
Menurut salah seorang warga di sekitar bekas Stasiun Kalimenur, sekitar awal dekade 1980-an, stasiun ini masih kerap disinggahi warga yang ingin berekreasi. Biasanya, menjelang sore banyak keluarga membawa anak-anak mereka di tepi stasiun untuk melihat kereta-kereta yang melintas.
“Mungkin mereka masih kangen naik sepur bumel.” ujarnya
Makin lama, jumlah pengunjung bekas Stasiun Kalimenur terus berkurang. Kondisi bangunan yang tidak terawat membuat mereka enggan menginjakkan kaki di sana. Kalimenur pun terlantar.
Dari 3 satasiun jaman dulu, tinggalah Stasiun Kedundang yang masih beroperasi. Namun tak lama stasiun ini pun ikut ditutup. Tahun 2007 resmi di tutup setelah jalur ganda Kutoarjo-Solo digunakan.
Bangunan Stasiun Kedundang yang dicat biru masih berusaha menunjukan ke kokohanya, meski kondisi dalamnya kotor. Ruang tunggu penumpang, loket peron, dan ruang kerja petugas stasiun masih ada. Namun pintu, jendela, dan langit-langit stasiun mulai rusak.
Kasimin (52), penjaga pintu perlintasan kereta Kaligintung, 100 meter dari Stasiun Kedunang, menyayangkan kondisi bangunan yang terlantar itu. Walau sudah tidak difungsikan, sebaiknya gedung tetap dirawat karena merupakan bagian dari sejarah perjuangan bangsa, termasuk sejarah perkeretaapian Indonesia.
“Dulu, stasiun ini pernah menjadi lokasi pengiriman logistik bagi tentara nasional yang berjuang di Purworejo dan Yogyakarta. Penumpang membawa karung beras, pisang, kelapa, sayur, dan ayam adalah pemandangan biasa,” kisah Kasimin.
Sayangnya, kisah sejarah yang melatarbelakangi stasiun-stasiun tua ini hanya tersampaikan secara lisan antar warga Kulon Progo. Bidang Kebudayaan Dinas Kebudayaan Pariwisata Pemuda dan Olahraga Kulon Progo, tidak punya catatan sejarah apa pun tentang stasiun tua.
Belum ada dokumen soal stasiun ini. Nampaknya para pemerhati sejarah lokal, masih fokus ke arah dokumentasi kisah rakyat dan legenda, sehingga cerita dari masa perjuangan belum terdokumentasikan.
Semoga perencanaan pendataan benda-benda cagar budaya, termasuk stasiun tua, secara lengkap dapat terlaksana. Seluruh benda cagar budaya maupun yang baru diduga benda cagar budaya agar didatangi dan diteliti keaslian fisik dan kisah sejarahnya.
Peninggalan sejarah yang memenuhi kriteria benda cagar budaya akan mendapat pengakuan oleh Bupati Kulon Progo melalui surat keputusan. Surat ini akan menghindarkan benda cagar budaya dari ancaman penggusuran dari proses pembangunan wilayah.
Terlebih ada rencana, bahwa stasiun Kedundang akan di hidupkan kembali. Untuk mendukung keberadaan Bandara baru.
Semoga upaya yang sama juga akan dilaksanakan PT Kereta Api Daerah Operasi VI (PT KA Daop) VI Yogyakarta. Agar bisa mendata semua stasiun tua di jalur Solo-Kutoarjo.
Serta mengalokasikan dana khusus untuk memperbaiki dan merawat stasiun-stasiun tua, kendati itu bisa lumayan biayanya. Dan khusus bagi stasiun yang diketahui bernilai sejarah tinggi, agar diusulkan menjadi benda cagar budaya.
Apa pun komitmen para pengambil kebijakan, stasiun-stasiun tua yang tersisa seperti Kedundang dan Kalimenut, layak diselamatkan. Jangan biarkan nasib stasiun tua seperti veteran perang yang terabaikan di masa tua.




——————————————————-
SELASA, 23 Juni 2015
Jurnalis : Mohammad Natsir
Fotografer : Mohammad Natsir
Editor : ME. Bijo Dirajo
——————————————————-