Tudingan lainnya adalah tradisi pemberian (hadiah, sedekah, atau “berkat”) kepada kiai. Sebagian kalangan luar menilainya sebagai bentuk “kultus” atau “eksploitasi spiritual”. Padahal dalam konteks pesantren dan masyarakat santri, praktik ini memiliki makna teologis dan sosial yang dalam.
Dalam pandangan masyarakat pesantren, kiai bukan sekadar figur religius. Ia mujahid (pejuang agama) yang mengabdikan seluruh hidupnya -24 jam tanpa henti-. Mendidik santri, memimpin pengajian, menuntun masyarakat, dan membimbing umat.
Kontribusi total ini tanpa gaji formal atau jaminan material. Maka, pemberian masyarakat kepada kiai bukan bentuk transaksi ekonomi. Melainkan partisipasi spiritual dalam perjuangan agama. Tradisi ini sejalan dengan prinsip Islam: ta‘āwun ‘alal birri wat taqwā — saling membantu dalam kebaikan dan ketakwaan (QS. Al-Māidah: 2).
Pesantren bukan institusi sempurna. Akan tetapi kontribusinya terhadap Indonesia tidak bisa diabaikan. Lebih seribu tahun peradaban Islam di Nusantara, pesantren telah membuktikan diri sebagai “laboratorium kebangsaan”. Tempat di mana keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan menyatu dalam harmoni.
Kesederhanaan fasilitas pesantren tidak boleh dijadikan alasan membiarkan mereka berjuang sendiri. Apalagi dengan mendeskreditkan. Banyak pesantren — khususnya yang telah berdiri ratusan tahun — merupakan lembaga pembangun dan perawat peradaban Indonesia. Dari pesantren-pesantren inilah lahir pejuang kemerdekaan, ulama pendiri bangsa, dan pendidik generasi penerus.
Selayaknya negara hadir secara lebih konkret membantu Pesantren Salaf. Terutama dalam perbaikan sarana prasarana sekolah dan asrama. Kita harusnya malu ketika mencurigai lembaga ini. Kontribusinya sudah sangat besar untuk bangsa dan negara. Sudah sepantasnya negara merawat sebaik-baiknya.