Pesantren NU dalam Tudingan Isu

Salah satu tudingan paling sering: pesantren bersifat feodalistis. Terdapat sistem penghormatan tinggi kepada kiai dan pengasuh. Masyarakat luar menganggap “feodal”. Tradisi pesantren mengenalnya: tawadhu’ (kerendahan hati) dan adab terhadap guru.

Pandangan Islam klasik menganggap penghormatan kepada guru bukan bentuk perbudakan sosial. Melainkan bagian dari etika keilmuan. Sebagaimana maqolah (ungkapan bijak) ulama: “Man lam yata’addab lam yata’allam”. “Siapa yang tidak beradab, tidak akan memperoleh ilmu.”

Kini banyak pesantren justru menerapkan manajemen modern, partisipatif, dan transparan tanpa kehilangan nilai tawadhu’.

Tuduhan lain: pesantren “mesin bisnis”. Realitasnya sebagian besar pesantren tumbuh dari swadaya. Tanpa bantuan besar dari negara atau lembaga donor. Pesantren klasik sering kali beroperasi dengan fasilitas sederhana, beras dari donatur warga, dan sistem subsidi silang antar santri.

Dua dekade terakhir muncul fenomena pesantren mandiri. Mengembangkan unit-unit usaha: koperasi, pertanian, percetakan, atau minimarket. Sebagai strategi survival dan pemberdayaan ekonomi santri serta masyarakat sekitar. Data Kementerian Agama (2023): dari sekitar 37.000 pesantren di Indonesia, lebih dari 40% telah memiliki unit usaha produktif. Sebagian besar berbasis ekonomi mikro.

Juga ada tudingan: pesantren atau kiai “kolaborator kekuasaan”. Menegasikan realitas relasi pesantren dengan negara memiliki akar historis panjang. Sejak masa perjuangan, pesantren menjadi basis perlawanan terhadap kolonialisme.

Pertemuan antara kiai dan pejabat tidak selalu bermakna politis. Melainkan bagian dari komunikasi sosial, pembinaan moral, dan sinergi pembangunan umat.

Lihat juga...