LSF Sosialisasikan Kebebasan Berkarya dan Tanggung Jawab Produksi Film
Selain itu, melalui kegiatan ini dapat meningkatkan pemahaman siswa dan mahasiswa jurusan perfilman, sineas dan calon pembuat film terhadap peraturan perundang-undangan terkait dengan konten film, terutama dalam penetapan kelayakan, penggolongan usia penonton, dan kriteria sensor film, serta peningkatan pemahaman bahwa setiap film dan iklan film yang akan diedarkan dan atau dipertunjukkan wajib memperoleh Surat Tanda Lulus Sensor (STLS),” tutur Dian Lakshmi Pratiwi, S.S., M.A.
Sedangkan Wakil Ketua LSF, Noorca M. Massardi, dalam sambutannya menyatakan bahwa LSF hadir bukan untuk memangkas kreativitas berkarya film, sebaliknya justru LSF menjaga tontonan yang berkualitas bagi masyarakat.
“LSF tidak menggunting film, akan tetapi mekanisme kerja LSF adalah meneliti dan menilai film berdasarkan catatan hasil penyensoran, jika terdapat hal-hal yang bertentangan dengan Undang-undang maka LSF akan mengembalikan film tersebut kepada pemilik film untuk direvisi. LSF juga membuka ruang dialog bagi pemilik film yang
keberatan dengan keputusan yang dikeluarkan LSF,” papar Noorca M. Massardi.

Hadir sebagai narasumber yaitu Ketua Subkomisi Desa Sensor Mandiri dan Komunitas LSF RI, Hairus Salim, dan praktisi film Viko Amanda.
Dalam sesi diskusi, kedua narasumber mengangkat perspektif yang berimbang.
Hairus Salim membahas sisi regulasi dalam perfilman dan penyensoran, sedangkan Viko Amanda membahas sisi kreativitas sineas dan batasan-batasannya. ***