Ada seorang aktivis pengajian tafsir MTA Solo di sebuah desa di Trenggalek. Hanya seorang diri. Ikut pengajiannya di Solo.
Mendeklarasikan sebagai cabang MTA di Trenggalek. Pasang papan nama. Tidak ada anggota di kampung itu. Bahkan keluarganya juga tidak mengikuti kegiatan keagamannya.
Suatu ketika mengundang pengajian akbar teman-temannya sesama aktivis MTA di kampungnya. Ratusan peserta. Menggunakan banyak bus. Dilakukan secara terbuka. Bukan dalam forum indoor.
MTA memiliki pandangan keagamaan tersendiri. Metode tafsir tersendiri. Pendekatan fiqih tersendiri. Sementara kampung yang dijadikan tempat pengajian hampir semuanya jamaah NU. Berbeda kultur dan pandangan keagamannya dengan MTA. Kecuali satu orang anggota MTA yang ada di kampung itu. Ya penyelenggara kegiatan tadi.
Terjadilah penolakan oleh masyarakat atas pengajian itu. Penyelenggaraan kegiatan MTA dinilai provokatif. Masyarakat menilai sama saja menggelar pengajian akbar di Kampung Hindu Bali yang muslimnya hanya seorang diri. Atau menggelar pengajian akbar di sebuah kampung Kristen di Manado yang muslimnya seorang diri. Wajar saja jika terjadi penolakan.
Mereka tidak menyoal MTA memiliki pendekatan keagamaan berbeda. Mereka hanya tidak mau kampungnya yang hampir semua warganya bukan MTA, sebagai tempat pengajian akbar MTA.
Kedua, kasus penyerobotan tempat Ibadah. Tahun 1990-an banyak bermunculan small group pengajian. Diinisiasi aktivis-aktivis kampus. Menyasar aktivis-aktivis SMA. Ada jamaah Salafi, Jamaah Tabligh, Hisbut Tahrir, kelompok tarbiyah, dan lain-lain.
Tumbuh berkembangnya small group itu sebagian menggunakan masjid-masjid di masyarakat. Mengajarkan paham keagamaan yang dalam sejumlah hal berbeda dengan paham keagamaan yang sudah mapan di masyarakat. Lama-lama muncul ketegangan antar keduanya. Masyarakat sekitar masjid melarang kegiatan-kegiatan itu.