INDEF : Indonesia Belum Bergerak Secara Masif Menuju Ekonomi Sirkulasi
Berdasarkan peta jalan netral karbon 2060, pemerintah berencana mempensiunkan pembangkit fosil tua yang sub-kritikal sebesar 1 gigawatt (GW) pada 2030 dan sebanyak 9 GW PLTU sub-kritikal di tahun 2035. Kemudian, mempensiunkan PLTU super-kritikal sebesar 10 GW pada 2040.
Selain itu, mempensiunkan PLTU ultra superkritikal tahap pertama sebesar 24 GW di tahun 2045 dan tahap terakhir sebesar 5 GW pada 2055.
“Targetnya, tahun 2056 seluruh PLTU di Indonesia dapat keluar secara bertahap (phase out),” ujarnya.
Dikatakan Berly, pajak karbon dan rencana phase out pembangkit batubara sampai tahun 2055 merupakan indikasi yang baik. “Karena itu, perlu dikawal ketat agar komitmen ini direalisasikan, bahkan bisa dipercepat, dan tidak hanya lip service menyambut presidensi G20 Indonesia di 2022,” tukasnya.
Lebih lanjut disampaikan, INDEF mengapresiasi perubahan harga beli listrik PLN dari solar rooftop menjadi 100 persen. Selain itu, pemerintah perlu mengajak lebih intens untuk memasang rooftop solar panel, baik di perusahaan maupun rumah tangga.
Bahkan kata dia, pemerintah pusat juga perlu menyusun kebijakan komprehensif guna mendorong kendaraan listrik. Khususnya ketersediaan charger daerah urban dan pantura. Kemudian, juga mendahulukan kendaraan listrik untuk transportasi umum.
Disampaikan pula bahwa INDEF mencatat, emisi karbon di Indonesia secara rata-rata mengalami kenaikan sekitar 8 persen per tahun. Jika dihitung sejak 2000 hingga 2018, total peningkatan emisi karbon Indonesia mencapai sejumlah 38 persen.
“Keaikan emisi karbon Indonesia lebih tinggi daripada rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia yang sekitar 5 persen,” pungkasnya. [ME/Sri]